Terimakasih telah mengunjungi blog ini. Finally, cerpen I Saw You
selesai jam 09.30 WITA di malam minggu. Setelah tertanam cukup lama,
akhirnya selesai juga :D Meskipun sedikit memaksa, tapi hasilnya cukup
memuaskan. Semoga kalian senang dengan cerita ini, Happy reading dear ^^
1 jam yang lalu, aku memutusakan untuk mendownload sebuah lagu yang saat ini tengah mengiang ditelinga ku. Lagu itu ku download disebuah situs internet dimana
ribuan lagu gratis bertengger disana. You
Belong With Me, Taylor Swift, menghentak
didalam kamarku. Sudah berulang kali lagu itu ku putar lewat handphone
dan nyaris tak pernah bosan untuk ku dengar. Terlebih saat aku
menyadari
setiap bait dari lagu itu seakan mewakili perasaan asing yang beberapa
bulan
terakhir ini makin menjadi. Cukup mengganggu memang, tapi hingga detik
ini aku masih menikmatinya. Masih. Dan entah kenapa lagu ini perlahan
membawaku kedalam
lamunan tentang kejadian siang hari ini. Kejadian yang cukup membuatku
kacau
sekarang.
Apakah
ini yang disebut patah hati layaknya orang yang sedang putus cinta?. Tapi aku
tak memiliki pasangan. Bagaimana pula patah hati dapat ku sebut untuk
menggambarkan perasaaanku? Yang ku tau, aku memiliki seorang teman. Teman laki-laki,
yang sering ku sebut sebagai sahabat. Namanya Jimmy. Jimmy Laurent.
Bagi
ku Jim sesempurna lelaki didalam Novel. Ya, ‘Jim’, begitu lah aku sering
memanggilnya. Lebih mudah dibanding aku harus menyebutnya dengan kata Jimmy.
Tidak. Itu hanya panggilan khusus yang ku buat untuknya. Jim yang bertubuh tinggi,
memiliki kulit putih dan rambut dengan poni depan yang selalu ia kibaskan.
Matanya teduh dengan hiasan bola mata berwarna abu-abu. Gayanya memang seperti
laki-laki inggris kebanyakan, namun senyum manisnya menjadi ciri khas tersendiri
dari seorang Jim.
Teman
Jim memang tak hanya aku. Dia juga memilki teman laki-laki yang seiring
mengajaknya bermain base ball, mengajaknya
ngobrol, mungkin sekedar untuk membahas kaumnya, atau salah satu gang yang terkenal di The Royal Veterinary
College, universitas yang saat ini menaungiku.
Gang “Wolly”. Salah satu gang yang selalu ingin eksis karena mereka merasa memiliki
wajah paling cantik, seksi, dan “menggoda”. Mereka juga berasal dari keluarga
terpandang, mungkin hal itu juga yang membuat mereka seakan berkuasa. Terlebih
pada wanita yang ingin ataupun tidak sengaja menyaingi mereka. Ya, ya, ya, Megie,
Alice, Lily dan… Entahlah, aku juga tak tau persis setiap anggota gang Wolly,
tapi yang jelas aku tidak menyukai mereka. Kembali kepada Jim. Oh iya, Jim juga
pernah mengaku bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan Megi. Demi tuhan, aku
sangat menyesalkan ketika Jim membuat pengakuan itu. Tapi itu dulu. Meskipun
begitu untuk menghargai dan mendengarkan ceritanya, terkadang aku berpura-pura
menyukai Megie, dan bertingkah seperti aku mendukung hubungannya dengan Jimmy.
Tak peduli apapun, bagiku Jim itu sederhana meski ia tak bisa lepas dari sifat playboynya. Dengan segala kelebihan
fisik dan kebaikannya, dari sisi manapun aku meilhat Jim, dia seperti
menghipnotis dan membawaku kealam bawah sadar. Alam dimana aku tak lagi bisa
mengingat bahwa aku hanya lah seorang sahabat bagi Jim, dan tak lebih dari itu.
Aku selalu mengaguminya. Memujinya diam-diam adalah hal yang sering ku lakukan.
Meski iapun tak jarang memuji dan mengatakan jika aku wanita paling brilliant yang pernah ia temui. Aku
hanya bisa tersenyum kecut saat dia berkata demikian. Entah apa alasan dibalik
itu. Tak dipungkiri aku juga ingin Jim memujiku dengan sebutan lain. melihatku
dari sisi yang lain. Aku memang tak secantik Gang Wolly, ataupun wanita Inggris
kebanyakan. Aku hanya wanita yang selalu berusaha ada untuk sahabatku. Bagiku,
Jim adalah teman istimewa. Tak terkecuali setelah kejadian tadi siang.
03.45
AM..
Aku
tengah mencoba mengatur nafasku sedemikian rupa setelah berlari-lari di koridor
kampus dan berhenti ditaman belakang. Cukup melelahkan. Namun dinginnya cuaca
diluar tetap membuatku tak berkeringat. Aku merapatkan mantel yang ku kenakan.
1
jam yang lalu, aku mendapatkan telpon dari Jim. Nada bicaranya terdengar serius
dari ujung telpon. Dia memintaku untuk segera menemuinya, tapi aku tak bisa
menuruti karena harus mengikuti latihan untuk acara drama musikal
yang akan diadakan bulan depan. Aku tak perlu menjelaskan tentang hal itu,
karena Jim sudah tau. Dia bersedia untuk menunggu ditaman, tempat biasa kami
melepas penat. Dan dalam 1 menit seusai latihan, aku telah sampai ditempat itu.
Ku dapati Jim tengah asik duduk sembari mengamati benda kecil ditangannya.
“Hay Jim,” ucapku sesampainya mendekat kearah Jimmy, lalu
duduk disampingnya.
“Hay Mercy,” sapanya ketika menyadari keberadaaanku,
kemudian tersenyum. Senyumnya terlihat seperti biasa, dan tak ada sesuatu yang
aneh.
“Ada apa menelponku dan rela menunggu selama ini?, ada
masalah?” Aku mulai membuka pembicaraan dan memasang wajah serius, menatap
laki-laki yang tengah berada disampingku. Ia tak menoleh, sibuk dengan
handphone yang ada ditangannya.
“Tidak.” Jawabnya ringan.
“Lalu?” Tanyaku lagi. Ia hanya tersenyum tipis,
menyingkap poni yang menurun.
“Sedang apa kau? Serius sekali.” Aku mulai
penasaran dengan sesuatu yang selalu Jim perhatikan dihandphonenya sejak
kedatanganku beberapa menit yang lalu.
“Coba kau lihat dia!” Sembari menyodorkan handphonenya
kearahku, Jim memperlihatkan sebuah foto yang tertera dihandphonenya.
“Bagaimana menurutmu?”
“Dia?” Aku terkejut mendapati foto yang ia tunjukkan. Sean
Willsmith. Rasa penasaranku mulai meningkat tajam. “Pasangan barumu?” Aku
menebak penuh curiga, dan mencoba untuk mengatur detak jantung yang mulai tak
beraturan, takut dengan jawaban yang
akan Jim katakan.
Jim mengangguk pelan dan penuh keyakinan. Sesuai dengan
dugaanku. Akupun hanya bisa diam. Terjebak dengan pikiranku sendiri. Gadis itu
memang cantik. Tapi apa aku harus mengakuinya?, apa aku harus menyakiti
perasaanku dengan kata-kataku sendiri?, aku belum siap menyadari jika dia
memang jauh lebih cantik dibanding aku, bahkan jauh lebih baik, mungkin.
“Jadi kau menungguku hanya untuk ini?”
Jim tersenyum, seakan tak ada yang salah dengan ini. Ya..
Dia memang tak tau jika ini tak seperti yang ku harapkan.
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya bersama
rasa kesal yang tiba-tiba datang, namun mencoba untuk setenang mungkin.
“Aku yakin kau pasti bisa menilai apa yang terbaik
untukmu, Jim.” Kata-kata itu spontan ku ucapkan padanya. Atas dasar apa, aku
tak mengerti. Kemudian menyunggingkan senyum padanya. Senyum palsu yang selalu ku
jadikan senjata andalan. Yang jelas ada perasaan cemburu, ada perasaan kecewa.
Ku dapati ekspresi Jim berubah bingung. Akupun tak menghiraukan kode itu.
Moodku tiba-tiba hilang. Ingin sekali rasanya lenyap. Menyadarkan diriku bahwa
aku tak pantas, tak lebih pantas untuk seorang Jim. Dan akan selalu ada kata
‘tidak mungkin’ antara aku dan sahabatku.
“Jawaban macam apa itu?, kau pasti tau, Mercy, bukan itu
jawaban yang ingin ku dengar”. Jim mulai protes atas jawabanku, tetap dengan
gayanya yang santai, mengibaskan poni, memandangku penuh harapan.
“Apa?” Aku menantangnya menjelaskan jawaban yang ia
harapkan dariku. Jimmy tak menyahut. “Bukankah itu jawaban paling diplomatis
untuk pertanyaanmu?. Dan apapun jawaban yang kuberikan, ku rasa kau tetap pada
keputusanmu, bukan?” Emosiku mulai terpancing.
“Mungkin kau bisa menjawabnya dengan berkata ‘dia cantik
Jim, dia seksi, dia cocok sekali denganmu’.” Jim menirukan gayaku bicara, kemudian
melanjutkan. “Atau semacamnya.”
“Apakah itu jawaban yang ingin kau dengar?” Aku tertawa kecil.
“Seperti yang sudah-sudah, aku yakin ini tak akan bertahan lama.”
“Kali
ini tidak,” jawabnya cepat.
Dadaku
terasa sesak. Seakan tertancap serpihan hatiku sendiri. Aku memalingkan wajah kearah
Jimmy, menatapnya tajam. Ia tidak menyadari jika ia telah melukaiku. Tidak seharusnya
ia mengatakan itu. Benarkah kali ini ia
akan serius dengan Sean?. Aku cemas tapi berusaha mengabaikan pengakuannya.
Kini sakit itu semakin terasa dalam.
“Sudahlah
Jim, kita harus cepat pulang sebelum salju benar-benar turun.” Aku merapatkan
mantel yang ku kenakan. ”Oh iya, kau tidak perlu mengantarku karena aku ada
urusan setelah ini,” ucapku seraya berdiri, dan bergegas pergi meninggalkan Jimmy.
Ia menghentikan langkahku seketika. Menarik pergelangan tanganku.
“Pulang?” Jimmy terdengar geram, meski aku tak melihat
ekspresi yang ia tunjukan. Dia seperti tak menerima keputusanku yang tiba-tiba.
Ia kembali berkata. “Kau tau betapa membosankannya menunggu selama 1 jam?” Ia
melepaskan genggamannya.
Aku
semakin yakin jika aku mulai terjebak oleh rasaku sendiri. Detak jantung yang
semakin kencang. Aliran napas yang seakan berhenti, menegaskan jika aku
benar-benar menyukainya. Sangat suka. Saat tangan itu menyentuh pergelanganku,
menggenggam erat meski tanpa arti. Ya… itu semua tak ada artinya.
“Ya. Tapi untuk bertanya tentang wanitamu, kau tidak
keberatan menunggu selama ini, bukan?. lagipula aku tidak memintamu untuk
menungguku.”
“Ayo lah Mercy, ada apa denganmu? Aku yakin kau tidak
sedang sakit sekarang. Apa urusan yang kau sebut tadi adalah tentang
masalahmu?, katakan saja, kau tau aku akan selalu membantumu.” Jimmy menurunkan nada suaranya dan berusaha untuk
lebih lembut padaku.
“Aku baik-baik saja, Jim, dan tidak dalam masalah.”
“Lantas?, apa kau sudah tidak peduli dengan sahabatmu
yang satu ini?” Ia merengek.
Meksipun terkadang Jimmy seperti anak manja
yang haus perhatian seperti sekarang, tapi kali ini ego ku lebih kuat dari yang ia bayangkan.
“Berhenti berpikir seperti itu. Cepatlah atau aku akan
meninggalkanmu.”
“Kau akan meninggalkanku? Sendirian?, Ku rasa kau
benar-benar dalam masalah. Sudahlah, jika tak mau cerita. Tinggalkan aku jika
kau ingin pergi!”
Jimmy
menyerah untuk membujukku. Ia kembali duduk dikursi panjang itu. Dan tiba-tiba
saja handphnonenya berdering. Menyelinap diantara emosi yang ada diantara kami.
Ia tak menjawab telpon itu setelah sempat melihat sang penelpon dilayar.
Sesuatu hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya dan
hal yang selalu aku takutkan, aku tidak bisa mengontrol emosiku, tidak bisa
menahan perasaan yang tak sepantasnya hadir. Dan benar saja. Jika dulu aku
selalu mendukung dengan siapapun ia berkencan, dengan siapapun dia menjalin
hubungan, tapi tidak untuk kali ini. Aku terlalu mencintainya, juga mencintai
diriku sendiri. Lalu apa yang bisa ku lakukan?. Bukan karena wanita itu buruk
untuknya, bukan pula karena ia lebih cantik dariku. Bukan. Tapi lebih karena
perasaanku sendiri, setidaknya tidak akan seperti ini jika orang itu bukanlah
Sean.
Aku menarik napas sedalam mungkin. Menetralkan emosiku.
Sesaat kami hanyut dalam diam. Ia masih saja duduk dikursi itu, dan aku tetap
pada posisiku. Berdiri memandangnya. Aku kemudian berpikir, tidak seharunya aku
seegois ini. Bukankah dia sahabatku?. Hanya sahabat. Apa hak ku untuk marah
padanya?. Bukan dia yang memintaku untuk menyukainya. Perasaan ini muncul
begitu saja, buah dari rasa kagumku yang berlebihan. Harusnya aku tau diri.
Harusnya cukup dengan menjadi sahabatnya, dan bersikap baik padanya. Ya.. Hanya
itu yang harus ku lakukan.
Ini memang menyakitkan. Tapi bukankah orang-orang diluar
sana selalu bilang, cinta tak harus memiliki dan cinta tumbuh atas kehendakmu.
Mungkin ini akan terus menjadi ceritaku, bukan menjadi cerita dalam hidupnya.
Aku mendekat kearah Jimmy. Duduk disampingnya. Ia tak
menoleh. Masih menerawang jauh keseluruh penjuru taman. Dan seketika, salju
pertama mulai turun. Meski aku tak berhasil menyeret pandangannya, aku tetap mencoba
untuk mengajaknya bicara, tepatnya ingin meminta maaf padanya atas sikapku. Dan
aku tau ini akan menjadi akhir dari rasa ini.
“Maafkan aku Jimmy.” Aku ku padanya, lirih. “Dengar,
bukankah aku selalu mengatakan padamu bahwa aku akan mendukung apapun yang
menjadi keputusanmu?, apapun!” Aku diam beberapa saat, dan melanjutkan. “Aku
hanya ingin kau berusaha untuk lebih serius dengan siapapun gadis yang menjalin
hubungan denganmu.” Jimmy masih tak bereaksi. “Oke, aku memang tak bermaksud
menggurui, tapi dengan begitu, kau juga akan merasa senang, bukan?. Selama ini
kau selalu bertanya apa yang salah dengan dirimu?, kenapa kau tidak bisa
berlama-lama dengan teman kencanmu?. Jawabannya mungkin karena kau belum
mengetahui apa yang terbaik untuk dirimu sendiri. Dan sekarang, aku yakin kau
sudah tau tentang itu, Jim. Dia cantik. Aku mengenalnya dengan baik karena dia
temanku.”
Jimmy menunjukkan wajah terkejut, sama terkejutnya ketika
aku melihat foto Sean di handphonenya. Dia tak tau jika aku berteman dengan
Sean. Kini aku mencoba tersenyum selebar mungkin. Setelah membuat pernyataan
yang menyesakkan. Kemudian menatap dalam kearah bola matanya yang redup. Ia balas
menatapku. Memegang pipiku dengan kedua telapak tangannya. Aku berharap ia tak
akan merasakan apapun, karena jujur, aku merasakan pipiku merona
sejadi-jadinya. Kenapa dia selalu bersikap seperti ini?. Tentu saja karena aku
sahabatnya, kan?. Ini hal wajar. Tapi aku selalu salah mengartikan sikapnya.
Aku menunduk. Bingung reaksi apa yang kiranya tepat untuk ku tunjukkan.
“Kau tidak sedang marah padaku, kan?”
Ia
mendekatkan wajahnya. Memasang wajah dengan seuntai senyum yang paling ku suka.
Pertanyaan yang tiba-tiba muncul setelah lama ia terdiam. Aku menggeleng. Mengurai
senyum yang ku paksakan. Ia melepaskan kedua tangannya.
Seandainya
bisa sedikit lebih lama, biarkan tangan itu menyentuh pipiku. Merasakan betapa lembutnya
desiran darah yang hangat, bercampur dengan dinginnya salju yang turun. Dan setelah
itu, akan ku relakan dengan siapapun dia. Hanya hingga detik ini, aku ingin
bersamanya lebih lama. Bukan sebagai sahabat, tapi sebagai teman wanitanya.
Seandainya itu mungkin, seandainya ia tau.
“Kau tau, aku akan selalu menganggapmu sebagai wanita paling brilliant yang pernah ku temui.
Jadi bagaimanapun, kau akan selalu menjadi yang istimewa.”
Kalian dengar, itulah kata-kata yang ia ucapkan. Kata-kata
yang berhail meruntuhkan semangatku. Menyadarkan ku untukku kesekian kalinya
jika ini ceritaku, bukan ceritanya. Tapi setidaknya ini akan menjadi awal yang
baik. Terlebih untuk diriku sendiri. Mungkin. Dan.. entahlah. Lagi-lagi iya
tersenyum. Senyum yang tak boleh lagi ku kagumi dari sekarang.
“Baiklah Mercy, bukankah
kau bilang kau ada urusan?. Pergilah, aku tidak akan menghalangimu.” Ia
memasukkan handphone kedalam tas. “Aku juga minta maaf jika selalu membuatmu
kesal. Percayalah Mercy, kau teman terbaikku.” Ia menganggkat lengannya dan
mendaratkan keatas kepalaku. Ia mengelus rambutku, lembut.
Ya.. teman terbaik! Aku tersenyum padanya.
“Kau tau, kau laki-laki menyebalkan yang pernah ku temui.”
Ucapku mengejeknya. Kami saling bertatapan dalam diam, lalu tertawa bersama.
Dan
sejak saat itu ku pikir aku akan benar-benar melupakannya. 1 detik setelah itu
dan sampai beberapa jam sekarang ini. Ternyata tidak.-