Hari ini Tara merasa sangat rapuh. Tubuhnya gemetar
dan ia merasa tidak bertenaga. Hari ini Tatsuya akan pulang ke Jepang. Tidak akan
kembali ke Paris lagi.
Awalnya ia memang tidak ingin tahu kapan tepatnya Tatsuya
akan pulang ke Jepang, tetapi akhirnya ia tidak bisa menahan rasa penasarannya.
Ia bertanya pada Sebastien. Sebastien memberitahunya dan bertanya apa yang akan
dilakukannya. Terus terang saja, Tara
tidak tahu. Ia tidak berencana melakuka apa-apa. Ia hanya ingin tahu. Ingin merasa
yakin.
Tara tidak masuk kerja hari ini dengan alasan sakit.
Ia memang sakit. Sangat sakit. Ia tidak bisa melakukan apa pun, hanya duduk
diranjang dan melamun.
Apakah ia perlu menelpon Tatsuya?
Apakah ia perlu mengantarnya ke bandara?
Apakah ia sanggup mengucapkan selamat tinggal sekali
lagi?
Tidak, sebaiknya ia tidak melakukan semua itu. Itu
hanya akan menghancurkan dirinya. Biar Sebastien saja yang akan mengantarkan
Tatsuya ke bandara. Biar Sebastien saja yang mengucapkan selamat tinggal. Tara sendiri
tidak sanggup melakukannya.
Sebastien juga berjanji akan menelponnya jika
Tatsuya sudah pergi.
Tiba-tiba ia mendengar ponselnya berdering. Dengan cepat
ia meraih ponsel dan menempelkannya ketelinga. “Allo?”
“Tara?”
“Elise?” gumam tara dan bahunya merosot.
“Aku menelponmu untuk memberitahu supaya kau
mendengarkan siaranku nanti.”
“Kenapa?”
“Ini penting sekali.” Suara Elise terdengar serius.
“Katakan padaku, Elise,” desak Tara.
“Monsieur Fujitatsu menulis e-mail lagi.”
Tara menahan napas.
“Dan ini e-mail
terakhirnya.”
***
“Apakah ada yang
tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai? Aku tahu.”
Kalimat pembuka dari Tatsuya itu membuat Tara
menahan napas.
“Aku memang baru
mengenalnya, tapi rasanya sudah mengenalnya seumur hidup. Dan tiba-tiba saja
aku sadar dia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam hidupku.”
“Aku pertama
kali bertemu dengannya di bandara Charles de Gaulle. Lalu tanpa sengaja aku
bertemu dengannya lagi di sebuah kelab ketika dia agak mabuk dan salah menyebut
nama si bartender. Aku akhirnya tahu namanya dipertemuan kami yang ketiga. Salah
seorang temanku memperkenalkannya padaku. Selama ini aku tak pernah percaya
dengan yang namanya kebetulan, tetapi ini seperti takdir. Karena akhirnya aku
mendapatkan kesempatan mengenalnya.”
“Saat itu juga aku memutuskan akan mencoba keberuntunganku. Sudah tiga kali aku bertemu
dengannya tanpa sengaja – tentu saja saat itu dia tidak tahu, karena sejauh
yang dia tahu, kami bertemu pertama kalinya saat temannya memperkenalkan kami –
dan aku memutuskan jika setelah pertemuan ini aku bisa bertemu dengannya secara
kebetulan, aku akan mengambil langkah pertama dan mengajaknya keluar.
“Bintang keberuntungku
ternyata sedang bersinar terang saat itu. aku bertemu dengannya lagi tanpa
sengaja. Kali ini dia yang datang menghampiri dan menyapaku. Harus ku akui, aku
begitu terpana sampai-sampai mendadak bisu sesaat. Aku tahu aku harus menepai
janjiku sendiri. Aku pun mengajaknya menemuiku ke museum.
“Benar, gadis
misterius yang kutemui di bandara dan Gadis Musim Gugur adalah orang yang sama.
“hidup ini
sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup melambungakanmu setinggi
langit, kali lainnya hidup menghempaskanmu begitu keras ke bumi. Ketika aku
menyadari dialah satu-satunya yang paling ku butuhkan dalam hidup ini, kenyataan
berteriak ditelingaku dia juga satu-satunya orang yang tidak boleh kudapatkan. Kata-kataku
mungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi percayalah, aku rela melepaskan apa
saja, melakukan apa saja, asal bisa bersamanya.
“Satu-satunya
yang bisa ku lakukan sekarang adalah keluar dari hidupnya. Aku tidak akan
melupakan dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya walaupun itu
berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku mencoba melakukannya. Pasti butuh
waktu lama sebelum aku bisa menatapnya tanpa merasakan apa yang kurasakan
setiap kali aku melihatnya. Mungkin suatu hari nanti – aku tidak tahu kapan –
rasa sakit ini akan hilang dan saat itu kami baru akan bertemu kembali.”
Tepat saat itu terdengar bunyi ponsel. Secara otomatis
Tara meraih ponselnya dan menempelkannya ketelinga. Tidak peduli ponselnya jadi
basah karena air matanya yang mengalir deras.
“Tara?” Suara Sebastien terdengar ditelinganya. “Aku
ada di bandara. Pesawat Tatsuya baru saja tinggal landas.”
Tara tidak bisa mendangar suara Sebastien lagi. Ponselnya
terlepas dari genggaman dan jatuh ke ranjang. Napasnya mulai tersendat-sendat
dan dadanya sakit setiap kali ia berusaha menarik napas. Namun ia bisa
mendengar suara pelan Elise yang membacakan surat Tatsuya.
“Sekarang… Saat
ini saja… Untuk beberapa detik saja… aku ingin bersikap egois. Aku ingin
melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar
belakangku. Tanpa beban, tuntutan, ataupun harapan, aku ingin mengaku.
“Aku mencintainya.”
Saat itulah secuil kendali diri Tara yang rapuh
akhirnya hancur berkeping-keping dan tangisnya pun pecah. Ia membenamkan
wajahnya dalam kedua tangan dan tersedu-sedu. Seluruh tubuhnya berguncang
keras. Ia membiarkan isakannya, sedu-sedannya, air matanya tumpah keluar. Ia tidak
bisa menahannya walaupun ia ingin. ia hanya berharap sepenuh hati, dengan
begitu rasa sakit dan kepedihannya juga akan berkurang, walaupun sedikit. Karena
ia sungguh tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya terhadap lubang besar
yang menganga didalam dadanya. Tempat hatinya dulu berada.