Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Sunday, April 13, 2014

Konversi

Katamu tak ada alasan untuk sebuah cinta, seperti yang ku tau, kau dan yang lainnya.

Hari itu aku tak bermimpi apapun, bukan tak ada, namun bukan kau tepatnya. Kau bukan tokoh mimpi yang kutemu ditengah lelapku biasanya. Kau bukan teman imajinasi saat tiba gairahku untuk sekedar ciptakan masa depan penuh suka. Dan kau bukan pula sosok didalam fantasiku yang tanpa ragu membawa setumpuk harapan lugu. Mengumpulkan teguh berani. Mengungkapkan segala rasa.

Sejak hadirku di tempat itu, burat senyum tak pernah basi kau suguhkan meski hanya tersirat. Aku memang ragu. Nyatakah yang kau sebut dengan cinta ini? Atau hanya salah pahammu pada cinta yang kau reka. Cinta yang mengikis siapapun yang memilih diam. Memaksa untuk mengikuti bisik hati tanpa kecuali. Seperti halnya rasa yang kau yakini saat itu. Dan kau memilih jujur. Kejujuran yang sesaat mulai menyudutkanmu. Kau mulai bertanya sembari menyisipkan asa  yang kau gantung setinggi-tingginya. Dan cukuplah dengan aku menjawab pertanyaanmu. Lagi-lagi meragu.

Satu menit di waktu itu, masih bisa ku tangkap optimismu penuh nafsu, hingga beralih kemenit berikutnya. Dimana semesta berotasi. Realitas berubah. Sebuah kesadaran muncul ke permukaan. Kau telah kupecundangi. Memberikan kesempatan pada ribuan hal lain untuk dilirik. Sadarmu bahwa rasa kita tak sama.  Jawabanku yang seketika membuatmu pupus. Yang mungkin akan membenciku hingga muak. Menyesali khilaf karena membela egoismu. Menebar racun untukmu sendiri.

Sayangnya. Kukira aku  telah  melakukan hal yang paling bijaksana. Layaknya banyak orang berkata jika yang terbaik adalah isi hati kita. Ya, aku melakukannya. Mengempasmu pada bagian terdalam. Hanya mematuhi kata hati yang kuyakini. Membuatmu mati rasa. Membuat urat2 bibirmu kaku dengan sendirinya.

Mungkin kini kau tak berani menoleh ke belakang. Takut untuk bertemu pecundangmu, takut menghitung ribuan kata yang kau buang sia-sia. Namun bayangmu  masih membekas di sisi lain pikiranku sekarang. Entah berapa juta kali mereka membelah diri. Hingga penuh otakku tak terkendali.

1 bulan. Bisa kah kau menghitung berapa banyak waktu berlalu? Tiga puluh hari dikali dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan enam puluh. Kalikan enam puluh: 155.520.000. Percayalah bahwa kau akan temukan angka itu. Milisekon sejak kutinggalkan kau di sana. Milisekon saat kusadari aku tak henti memikirkanmu. Menciptakan konversi waktu. Ratusan juta yang akan lebih menakjubkan jika kutarik hingga skala nano. Bagaimana dengan angkamu? Kujamin itu pasti lebih fantastis. Menghitung perasaanmu secara matematis tak mampu untuk kubayangkan jumlahnya. Percayalah. Aku hanya ragu. Ragu jika ini salahmu dalam menganalisis rasa. Ragu jika kau tak pahami apa itu arti 'kita'. Ragu yakini teorimu bahwa tak ada alasan untuk cinta. Dan aku ragu untuk menyadari bahwa kau ada dalam konversi zona waktuku sejak lama.

Wednesday, April 2, 2014

2 Maret 2014


Jam 3 sore tepatnya, saat sebuah pesan kau  tujukan padaku di sela waktu sibukmu. Aku tau kau akan melakukannya. Aku tau kau  ingat betul tanggal berapa ini. 2 Maret 2014. Tahun ketiga hubungan kita. Seperti yang sudah-sudah, kita akan merayakannya ditempat yang sama. Sebuah rumah makan berundak di Bukit Pakar Timur, kota Bandung. Tempat pertama kita berjumpa; tempat yang menjadi saksi tumbuhnya cinta antara kita; tempat dimana kau tumpahkan segala harapmu padaku 3 tahun yang lalu. Kubacalah pesanmu dengan antusias, seperti surat cinta yang kau kirimkan selepas hujan. Bahasamu yang begitu meyakinkan, membuat pikiranku  menggelitik jahil seketika. Mungkinkah telah kau siapkan kejutan untuk hari istimewa kita? Ah.. Aku tak berani berandai-andai, mengingat kau pun tentu tak ada waktu untuk itu, kau tentu lebih memilih mengabiskan waktu bersama proyek barumu. Membuatku merasa di duakan oleh masadepan yang selalu kau janjikan.   Alhasil, belakangan ini kita jarang bertemu. Hanyalah rentetan pesan yang kau kirimkan untuk mewakili perhatianmu, seperti sekarang ini. Menanyakan kesibukanku seharian, dan bercerita hal lain yang terlalu sering kuperdengankan.

Jam 5.15 pun bercerita. Aku telah sampai ditempat yang kau alamatkan. Tempat romatis yang tidak terlalu besar. Dengan anak tangga yang menjulang dari pintu masuk hingga puncak di setiap meternya, kemudian membawaku  pada balkon yang menjorok keluar. Disinilah kita habiskan waktu bersama setiap kalinya. Duduk di salah satu meja yang berada di pojokan, seperti yang kulakukan kali ini. Pikirku, pandangan kita akan bertemu dikejauhan saat aku tiba di sini.  Lalu aku duduk di depanmu sembari mengulas senyum termanis andalanku dan kita mulai bercengkrama, ditemani suasana intim dan tenang saat matahari jatuh diupuk barat sana. Ternyata tidak.

Kini aku tengah menunggumu, ditemani secangkir cappucino hangat tidaklah buruk menurutku. Meski 15 menit telah berselang melewati batas waktu yang kau janjikan. Aku pasti akan menunggumu dengan sabar sembari menikmati live music yang bersenandung, samar-samar. Ketika petikan gitar dan suara biola mengiringi setiap nada yang keluar dari mulut sang biduan. Aku berharap kau akan secepatnya datang hingga akan banyak waktu yang tersisa untuk kita hingga petang. 

Dan 1 menit, 2 menit, hingga tak kusadari merambat ke 1 jam, bahkan lebih, masih saja tak kutemui siluetmu tiba di puncak tangga, sementara 2 meja lain di atas sini telah berganti penghuni. Apakah semangatku terlalu berlebihan? hingga tak menyadari waktu tak akan bersamaku menunggu lama disini. Membuatku kehilangan selera, membuat gemulai lilin di atas meja tak seindah sebelumnya. Tidaklah salah jika egoisku mulai berontak, tak mampu menahan kecewa yang kian memuncak. Bukankah ini terlalu sering kau lakukan? Lantas kesabaran mana lagi yang hendak kau uji kini? 

Aku mulai tak yakin sekarang. Tak seyakin saat kau kirimkan pesan itu. Benarkah kau ingat hari ini?  2 Maret 2014, berlalu bersama hujan yang semakin deras. Dan kau pastinya tahu, aku akan tetap menunggumu, selalu menunggu, seperti biasanya. .

Saturday, April 6, 2013

I Saw You

Terimakasih telah mengunjungi blog ini. Finally, cerpen I Saw You  selesai jam 09.30 WITA di malam minggu. Setelah tertanam cukup lama, akhirnya selesai juga :D Meskipun sedikit memaksa, tapi hasilnya cukup memuaskan. Semoga kalian senang dengan cerita ini, Happy reading dear ^^



1 jam yang lalu, aku memutusakan untuk mendownload sebuah lagu yang saat ini tengah  mengiang ditelinga ku. Lagu itu ku download disebuah situs internet dimana ribuan lagu gratis bertengger disana. You Belong With Me, Taylor Swift, menghentak didalam kamarku. Sudah berulang kali lagu itu ku putar lewat handphone  dan nyaris tak pernah bosan untuk ku dengar.  Terlebih saat aku menyadari setiap bait dari lagu itu seakan mewakili perasaan asing yang beberapa bulan terakhir ini makin menjadi. Cukup mengganggu memang, tapi hingga detik ini aku masih menikmatinya. Masih. Dan entah kenapa lagu ini perlahan membawaku kedalam lamunan tentang kejadian siang hari ini. Kejadian yang cukup membuatku kacau sekarang.

Apakah ini yang disebut patah hati layaknya orang yang sedang putus cinta?. Tapi aku tak memiliki pasangan. Bagaimana pula patah hati dapat ku sebut untuk menggambarkan perasaaanku? Yang ku tau, aku memiliki seorang teman. Teman laki-laki, yang sering ku sebut sebagai sahabat. Namanya Jimmy. Jimmy Laurent.

Bagi ku Jim sesempurna lelaki didalam Novel. Ya, ‘Jim’, begitu lah aku sering memanggilnya. Lebih mudah dibanding aku harus menyebutnya dengan kata Jimmy. Tidak. Itu hanya panggilan khusus yang ku buat untuknya. Jim yang bertubuh tinggi, memiliki kulit putih dan rambut dengan poni depan yang selalu ia kibaskan. Matanya teduh dengan hiasan bola mata berwarna abu-abu. Gayanya memang seperti laki-laki inggris kebanyakan, namun senyum manisnya menjadi ciri khas tersendiri dari seorang Jim.

Teman Jim memang tak hanya aku. Dia juga memilki teman laki-laki yang seiring mengajaknya bermain base ball, mengajaknya ngobrol, mungkin sekedar untuk membahas kaumnya, atau  salah satu gang yang terkenal di The Royal Veterinary College, universitas yang saat ini menaungiku. Gang “Wolly”. Salah satu gang yang selalu ingin eksis karena mereka merasa memiliki wajah paling cantik, seksi, dan “menggoda”. Mereka juga berasal dari keluarga terpandang, mungkin hal itu juga yang membuat mereka seakan berkuasa. Terlebih pada wanita yang ingin ataupun tidak sengaja menyaingi mereka. Ya, ya, ya, Megie, Alice, Lily dan… Entahlah, aku juga tak tau persis setiap anggota gang Wolly, tapi yang jelas aku tidak menyukai mereka. Kembali kepada Jim. Oh iya, Jim juga pernah mengaku bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan Megi. Demi tuhan, aku sangat menyesalkan ketika Jim membuat pengakuan itu. Tapi itu dulu. Meskipun begitu untuk menghargai dan mendengarkan ceritanya, terkadang aku berpura-pura menyukai Megie, dan bertingkah seperti aku mendukung hubungannya dengan Jimmy. Tak peduli apapun, bagiku Jim itu sederhana meski ia tak bisa lepas dari sifat playboynya. Dengan segala kelebihan fisik dan kebaikannya, dari sisi manapun aku meilhat Jim, dia seperti menghipnotis dan membawaku kealam bawah sadar. Alam dimana aku tak lagi bisa mengingat bahwa aku hanya lah seorang sahabat bagi Jim, dan tak lebih dari itu. Aku selalu mengaguminya. Memujinya diam-diam adalah hal yang sering ku lakukan. Meski iapun tak jarang memuji dan mengatakan jika aku wanita paling brilliant yang pernah ia temui. Aku hanya bisa tersenyum kecut saat dia berkata demikian. Entah apa alasan dibalik itu. Tak dipungkiri aku juga ingin Jim memujiku dengan sebutan lain. melihatku dari sisi yang lain. Aku memang tak secantik Gang Wolly, ataupun wanita Inggris kebanyakan. Aku hanya wanita yang selalu berusaha ada untuk sahabatku. Bagiku, Jim adalah teman istimewa. Tak terkecuali setelah kejadian tadi siang.

03.45 AM..

Aku tengah mencoba mengatur nafasku sedemikian rupa setelah berlari-lari di koridor kampus dan berhenti ditaman belakang. Cukup melelahkan. Namun dinginnya cuaca diluar tetap membuatku tak berkeringat. Aku merapatkan mantel yang ku kenakan.


1 jam yang lalu, aku mendapatkan telpon dari Jim. Nada bicaranya terdengar serius dari ujung telpon. Dia memintaku untuk segera menemuinya, tapi aku tak bisa menuruti karena harus mengikuti latihan  untuk acara drama musikal yang akan diadakan bulan depan. Aku tak perlu menjelaskan tentang hal itu, karena Jim sudah tau. Dia bersedia untuk menunggu ditaman, tempat biasa kami melepas penat. Dan dalam 1 menit seusai latihan, aku telah sampai ditempat itu. Ku dapati Jim tengah asik duduk sembari mengamati benda kecil ditangannya. 

            “Hay Jim,” ucapku sesampainya mendekat kearah Jimmy, lalu duduk disampingnya. 

           “Hay Mercy,” sapanya ketika menyadari keberadaaanku, kemudian tersenyum. Senyumnya terlihat seperti biasa, dan tak ada sesuatu yang aneh.

       “Ada apa menelponku dan rela menunggu selama ini?, ada masalah?” Aku mulai membuka pembicaraan dan memasang wajah serius, menatap laki-laki yang tengah berada disampingku. Ia tak menoleh, sibuk dengan handphone yang ada ditangannya.

            “Tidak.” Jawabnya ringan. 

            “Lalu?” Tanyaku lagi. Ia hanya tersenyum tipis, menyingkap poni yang menurun.

 “Sedang apa kau? Serius sekali.” Aku mulai penasaran dengan sesuatu yang selalu Jim perhatikan dihandphonenya sejak kedatanganku beberapa menit yang lalu. 

            “Coba kau lihat dia!” Sembari menyodorkan handphonenya kearahku, Jim memperlihatkan sebuah foto yang tertera dihandphonenya. “Bagaimana menurutmu?”

            “Dia?” Aku terkejut mendapati foto yang ia tunjukkan. Sean Willsmith. Rasa penasaranku mulai meningkat tajam. “Pasangan barumu?” Aku menebak penuh curiga, dan mencoba untuk mengatur detak jantung yang mulai tak beraturan,  takut dengan jawaban yang akan Jim katakan.

            Jim mengangguk pelan dan penuh keyakinan. Sesuai dengan dugaanku. Akupun hanya bisa diam. Terjebak dengan pikiranku sendiri. Gadis itu memang cantik. Tapi apa aku harus mengakuinya?, apa aku harus menyakiti perasaanku dengan kata-kataku sendiri?, aku belum siap menyadari jika dia memang jauh lebih cantik dibanding aku, bahkan jauh lebih baik, mungkin.

            “Jadi kau menungguku hanya untuk ini?”

           Jim tersenyum, seakan tak ada yang salah dengan ini. Ya.. Dia memang tak tau jika ini tak seperti yang ku harapkan.

          Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya bersama rasa kesal yang tiba-tiba datang, namun mencoba untuk setenang mungkin. 

            “Aku yakin kau pasti bisa menilai apa yang terbaik untukmu, Jim.” Kata-kata itu spontan ku ucapkan padanya. Atas dasar apa, aku tak mengerti. Kemudian menyunggingkan senyum padanya. Senyum palsu yang selalu ku jadikan senjata andalan. Yang jelas ada perasaan cemburu, ada perasaan kecewa. Ku dapati ekspresi Jim berubah bingung. Akupun tak menghiraukan kode itu. Moodku tiba-tiba hilang. Ingin sekali rasanya lenyap. Menyadarkan diriku bahwa aku tak pantas, tak lebih pantas untuk seorang Jim. Dan akan selalu ada kata ‘tidak mungkin’ antara aku dan sahabatku.

            “Jawaban macam apa itu?, kau pasti tau, Mercy, bukan itu jawaban yang ingin ku dengar”. Jim mulai protes atas jawabanku, tetap dengan gayanya yang santai, mengibaskan poni, memandangku penuh harapan.
            “Apa?” Aku menantangnya menjelaskan jawaban yang ia harapkan dariku. Jimmy tak menyahut. “Bukankah itu jawaban paling diplomatis untuk pertanyaanmu?. Dan apapun jawaban yang kuberikan, ku rasa kau tetap pada keputusanmu, bukan?” Emosiku mulai terpancing.

            “Mungkin kau bisa menjawabnya dengan berkata ‘dia cantik Jim, dia seksi, dia cocok sekali denganmu’.” Jim menirukan gayaku bicara, kemudian melanjutkan. “Atau semacamnya.”

            “Apakah itu jawaban yang ingin kau dengar?” Aku tertawa kecil. “Seperti yang sudah-sudah, aku yakin ini tak akan bertahan lama.”

“Kali ini tidak,” jawabnya cepat. 

Dadaku terasa sesak. Seakan tertancap serpihan hatiku sendiri. Aku memalingkan wajah kearah Jimmy, menatapnya tajam. Ia tidak menyadari jika ia telah melukaiku. Tidak seharusnya ia mengatakan itu. Benarkah kali ini ia akan serius dengan Sean?. Aku cemas tapi berusaha mengabaikan pengakuannya. Kini sakit itu semakin terasa dalam.

“Sudahlah Jim, kita harus cepat pulang sebelum salju benar-benar turun.” Aku merapatkan mantel yang ku kenakan. ”Oh iya, kau tidak perlu mengantarku karena aku ada urusan setelah ini,” ucapku seraya berdiri, dan bergegas pergi meninggalkan Jimmy. Ia menghentikan langkahku seketika. Menarik pergelangan tanganku.

            “Pulang?” Jimmy terdengar geram, meski aku tak melihat ekspresi yang ia tunjukan. Dia seperti tak menerima keputusanku yang tiba-tiba. Ia kembali berkata. “Kau tau betapa membosankannya menunggu selama 1 jam?” Ia melepaskan genggamannya. 

Aku semakin yakin jika aku mulai terjebak oleh rasaku sendiri. Detak jantung yang semakin kencang. Aliran napas yang seakan berhenti, menegaskan jika aku benar-benar menyukainya. Sangat suka. Saat tangan itu menyentuh pergelanganku, menggenggam erat meski tanpa arti. Ya… itu semua tak ada artinya. 

            “Ya. Tapi untuk bertanya tentang wanitamu, kau tidak keberatan menunggu selama ini, bukan?. lagipula aku tidak memintamu untuk menungguku.”

            “Ayo lah Mercy, ada apa denganmu? Aku yakin kau tidak sedang sakit sekarang. Apa urusan yang kau sebut tadi adalah tentang masalahmu?, katakan saja, kau tau aku akan selalu membantumu.” Jimmy  menurunkan nada suaranya dan berusaha untuk lebih lembut padaku.

            “Aku baik-baik saja, Jim, dan tidak dalam masalah.”

            “Lantas?, apa kau sudah tidak peduli dengan sahabatmu yang satu ini?” Ia merengek.

 Meksipun terkadang Jimmy seperti anak manja yang haus perhatian seperti sekarang, tapi kali ini  ego ku lebih kuat dari yang ia bayangkan.

            “Berhenti berpikir seperti itu. Cepatlah atau aku akan meninggalkanmu.”

           “Kau akan meninggalkanku? Sendirian?, Ku rasa kau benar-benar dalam masalah. Sudahlah, jika tak mau cerita. Tinggalkan aku jika kau ingin pergi!” 

Jimmy menyerah untuk membujukku. Ia kembali duduk dikursi panjang itu. Dan tiba-tiba saja handphnonenya berdering. Menyelinap diantara emosi yang ada diantara kami. Ia tak menjawab telpon itu setelah sempat melihat sang penelpon dilayar.

            Sesuatu hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya dan hal yang selalu aku takutkan, aku tidak bisa mengontrol emosiku, tidak bisa menahan perasaan yang tak sepantasnya hadir. Dan benar saja. Jika dulu aku selalu mendukung dengan siapapun ia berkencan, dengan siapapun dia menjalin hubungan, tapi tidak untuk kali ini. Aku terlalu mencintainya, juga mencintai diriku sendiri. Lalu apa yang bisa ku lakukan?. Bukan karena wanita itu buruk untuknya, bukan pula karena ia lebih cantik dariku. Bukan. Tapi lebih karena perasaanku sendiri, setidaknya tidak akan seperti ini jika orang itu bukanlah Sean. 

            Aku menarik napas sedalam mungkin. Menetralkan emosiku. Sesaat kami hanyut dalam diam. Ia masih saja duduk dikursi itu, dan aku tetap pada posisiku. Berdiri memandangnya. Aku kemudian berpikir, tidak seharunya aku seegois ini. Bukankah dia sahabatku?. Hanya sahabat. Apa hak ku untuk marah padanya?. Bukan dia yang memintaku untuk menyukainya. Perasaan ini muncul begitu saja, buah dari rasa kagumku yang berlebihan. Harusnya aku tau diri. Harusnya cukup dengan menjadi sahabatnya, dan bersikap baik padanya. Ya.. Hanya itu yang harus ku lakukan. 

            Ini memang menyakitkan. Tapi bukankah orang-orang diluar sana selalu bilang, cinta tak harus memiliki dan cinta tumbuh atas kehendakmu. Mungkin ini akan terus menjadi ceritaku, bukan menjadi cerita dalam hidupnya.

            Aku mendekat kearah Jimmy. Duduk disampingnya. Ia tak menoleh. Masih menerawang jauh keseluruh penjuru taman. Dan seketika, salju pertama mulai turun. Meski aku tak berhasil menyeret pandangannya, aku tetap mencoba untuk mengajaknya bicara, tepatnya ingin meminta maaf padanya atas sikapku. Dan aku tau ini akan menjadi akhir dari rasa ini.

            “Maafkan aku Jimmy.” Aku ku padanya, lirih. “Dengar, bukankah aku selalu mengatakan padamu bahwa aku akan mendukung apapun yang menjadi keputusanmu?, apapun!” Aku diam beberapa saat, dan melanjutkan. “Aku hanya ingin kau berusaha untuk lebih serius dengan siapapun gadis yang menjalin hubungan denganmu.” Jimmy masih tak bereaksi. “Oke, aku memang tak bermaksud menggurui, tapi dengan begitu, kau juga akan merasa senang, bukan?. Selama ini kau selalu bertanya apa yang salah dengan dirimu?, kenapa kau tidak bisa berlama-lama dengan teman kencanmu?. Jawabannya mungkin karena kau belum mengetahui apa yang terbaik untuk dirimu sendiri. Dan sekarang, aku yakin kau sudah tau tentang itu, Jim. Dia cantik. Aku mengenalnya dengan baik karena dia temanku.” 

           Jimmy menunjukkan wajah terkejut, sama terkejutnya ketika aku melihat foto Sean di handphonenya. Dia tak tau jika aku berteman dengan Sean. Kini aku mencoba tersenyum selebar mungkin. Setelah membuat pernyataan yang menyesakkan. Kemudian menatap dalam kearah bola matanya yang redup. Ia balas menatapku. Memegang pipiku dengan kedua telapak tangannya. Aku berharap ia tak akan merasakan apapun, karena jujur, aku merasakan pipiku merona sejadi-jadinya. Kenapa dia selalu bersikap seperti ini?. Tentu saja karena aku sahabatnya, kan?. Ini hal wajar. Tapi aku selalu salah mengartikan sikapnya. Aku menunduk. Bingung reaksi apa yang kiranya tepat untuk ku tunjukkan. 

            “Kau tidak sedang marah padaku, kan?”

Ia mendekatkan wajahnya. Memasang wajah dengan seuntai senyum yang paling ku suka. Pertanyaan yang tiba-tiba muncul setelah lama ia terdiam. Aku menggeleng. Mengurai senyum yang ku paksakan. Ia melepaskan kedua tangannya. 

Seandainya bisa sedikit lebih lama, biarkan tangan itu menyentuh pipiku. Merasakan betapa lembutnya desiran darah yang hangat, bercampur dengan dinginnya salju yang turun. Dan setelah itu, akan ku relakan dengan siapapun dia. Hanya hingga detik ini, aku ingin bersamanya lebih lama. Bukan sebagai sahabat, tapi sebagai teman wanitanya. Seandainya itu mungkin, seandainya ia tau. 

            “Kau tau, aku akan selalu menganggapmu sebagai  wanita paling brilliant yang pernah ku temui. Jadi bagaimanapun, kau akan selalu menjadi yang istimewa.”

            Kalian dengar, itulah kata-kata yang ia ucapkan. Kata-kata yang berhail meruntuhkan semangatku. Menyadarkan ku untukku kesekian kalinya jika ini ceritaku, bukan ceritanya. Tapi setidaknya ini akan menjadi awal yang baik. Terlebih untuk diriku sendiri. Mungkin. Dan.. entahlah. Lagi-lagi iya tersenyum. Senyum yang tak boleh lagi ku kagumi dari sekarang. 
            
         “Baiklah Mercy, bukankah kau bilang kau ada urusan?. Pergilah, aku tidak akan menghalangimu.” Ia memasukkan handphone kedalam tas. “Aku juga minta maaf jika selalu membuatmu kesal. Percayalah Mercy, kau teman terbaikku.” Ia menganggkat lengannya dan mendaratkan keatas kepalaku. Ia mengelus rambutku, lembut.
 
            Ya.. teman terbaik! Aku tersenyum padanya.

        “Kau tau, kau laki-laki menyebalkan yang pernah ku temui.” Ucapku mengejeknya. Kami saling bertatapan dalam diam, lalu tertawa bersama.

Dan sejak saat itu ku pikir aku akan benar-benar melupakannya. 1 detik setelah itu dan sampai beberapa jam sekarang ini. Ternyata tidak.-

Friday, December 21, 2012

Lope Luv (malam itu)

Ini adalah sepenggal adegan cerita yang pernah ku tulis. Judulnya Lope Luv. Nggak tau kenapa aku ngasih judul itu. Mungkin itu nggak ada artinya,  yang jelas ini tentang cinta. Cerita ini udah lama ku buat, tapi nggak pernah selesai karena selalu ada ide baru yang bermunculan, dan akupun akhirnya menghentikan cerita ini dan bersambung untuk menulis cerita yang lain. Baiklah, langsung saja.. ini dia, sepenggal cerita dari Lope Luv. Happy reading dear ^^




Derap langkah kaki menyelinap dikegelapan malam yang tak lama berselang. Jam menunjukan pukul 7.20. Seuntai kaki terlihat. Putih, terpancar sinar lampu jalanan.  Perlahan kaki itu terhenti pada pintu gerbang yang tak asing. Sesosok gadis berdiri manis. Dengan dress mini yang ia kenakan. Nampak ia sedang bingung. Menoleh-nolehkan kepalanya tak jelas. Namun kebingungannya terjawab, kala ia temukan sebuah papan terpampang tepat disamping gerbang dimana ia berdiri. Didekatinya papan itu dengan ragu-ragu. Didapatinya sebuah panah penunjuk jalan. Tanpa berpikir panjang, diikutinya tanda panah itu dengan yakin. Beberapa kali didapatinya tanda itu, membawanya sampai ketengah lapangan yang tiba-tiba saja terang bagaikan siang. Matanya terbelalak. Tak menyangka dengan apa yang dilihatnya saat itu. Sebuah spanduk besar, terpasang ditengah lapangan yang luas. Ditambah lampu-lampu yang berkelap-kelip. Dan satu buah meja lengkap dengan bunga, serta lilin kecil telah tersusun rapi. Sungguh diluar dugaan. Gadis itu lantas tertawa kecil. “so sweet“. Seketika kata itu terucap dari bibirnya yang merah. Ia berputar-putar perlahan, menikmati indahnya suasana yang ia dapat malam itu. Hanya saja, beberapa menit berselang, Tak jua nampak satu orangpun di balik ini semua. Gadis itu terdiam sejenak. Mengamati tulisan yang terpampang dispanduk besar.

“ Hati ini tlah letih, menunggu asa yang tak pasti, untuk menuju titik bahagia, dan berharap semuanya kan menjelang. Ini ku persembahkan untuk bidadari yang terkasih “.

Kata-kata yang menyentuh. Tergores dispanduk biru muda yang bersih. Dihiasi dengan beberapa lambang hati. Mendadak, muncul seorang laki-laki. Tegap ia berjalan. Membelakangi gadis yang tengah asik membaca tulisan dispanduk itu. Pelan ia mendekat.
“Eheem…”, laki-laki itu berdehem. Sigadis sigap berbalik arah, mengembangkan senyum yang lagi-lagi terpancar. Begitupun laki-laki itu, tersenyum dan terlihat rapi dengan baju yang ia kenakan. Tapi senyum dari gadis cantik itu tak lagi terlihat. Yang tertinggal hanyalah raut wajah heran, dan terpaku menyaksikan laki-laki yang berada didepannya. Ia mengernyitkan dahi.
“ Jadi?!!!”, gadis itu berujar. Menebak bahwa yang terjadi malam itu tlah direncanakan oleh sang laki-laki tersebut. Laki-laki mengangguk pelan, dan tersenyum lagi. Sigadis pun lantas tertunduk lesu. Perasaan kecewa mulai menghampiri. Ternyata apa yang ia pikirkan, tak sama hal nya dengan kenyataan yang ada. Laki-laki itu lantas menarik tangan sang gadis dan menyeret langkah menuju meja yang telah tersedia ditengah lapangan. Gadis itu tak bereaksi, hanya menundukan kepalanya dan mengikuti permainan sang laki-laki. Satu menit berselang, sampailah mereka ketempat yang dituju. -


Dirumah. Arya terlihat begitu antusias. Dengan kaos kuning yang dikenakannya, dan jaket jeans , menggerakan langkahnya dengan pasti, keluar rumah, dan berjalan menuju motor nya. Menstater motor itu, dan  motor itupun siap dikemudikan. Membawa Arya ketempat yang ia tuju. Perasaan senang kala itu menyelimuti hatinya. Hingga menghantarkan niatnya menemui Prita. Didalam perjalanan, Arya begitu santai menikmati semilir angin malam yang bertiup. Sesekali bersiul kecil. Seraya melirik jam tangan yang melingkar ditangan. Tak sabar menemui sang pujaan hati. Dan tak terasa, tiga puluh menit telah berlalu dari keberangkatannya tadi. Namun seketika pandangannya tertuju pada sebuah tempat yang tak asing tapi tak biasa. Sebuah sekolah dimana ia menghabiskan waktunya sehari-hari menuntut ilmu, nampak begitu terang dengan cahaya lampu yang gemerlap. Ia mengernyitkan dahi kemudian. Tak ayal, rasa penasaran pun muncul dari kebingungannya. Ia kemudian menepi. Menstandarkan motornya dan turun mendekati sekolah tersebut. Tanpa berpikir apa yang tengah terjadi didalam gedung sekolah, ia mulai masuk dan mengikuti tanda panah yang telah lama terpajang. Hingga membawanya jauh kedalam suasana sekolah yang sepi meski terlihat terang. Sampai saatnya ia menyaksikan, sebuah tontonan yang tak pernah terlintas dipikirannya sedikitpun. Didapatinya Prita dan Angga. Duduk berdua dalam satu meja dengan suasana yang romantis. Melihat peristiwa itu dari kejauhan, Arya benar-benar tak percaya. Berulang kali ia yakinkan kedua matanya bahwa gadis  yang dilihatnya itu bukanlah Prita yang ingin ia temui malam itu. Diusapnya kedua mata. Dan kembali mengamati apa yang nampak dari kejauhan. Kali ini ia benar-benar yakin bahwa gadis cantik yang berada satu meja dengan laki-laki itu ialah Prita. Perasaan cemburu pun tak dapat ditepis. Mengalahkan rasa tidak percaya  yang berubah menjadi kebisuan. Ia terhayut dalam lamunan sesaat. Tubuhnya lemas seketika. Mata yang tadinya bersinar, redup dalam kedipan mata yang penuh keputusasaan. Memerah, meluapkan sejuta kecewa. Senyum itu tak pula terlihat seperti beberapa menit yang lalu. Arya mengibaskan rambutnya belakangnya. Mendesah perlahan.
Sementara itu, dari tengah lapangan. Prita terlihat tak menikmati surprise dari Angga. Sejak ia mengetahui bahwa Angga yang berada dibalik semua ini, Prita tak mampu lagi untuk berujar. Mengungkapkan apa yang ia rasakan. Hanya menundukan kepalanya, dan sesekali mengangkat kepala itu seraya tersenyum kecil.
“Gimana? Lo suka?”, tanya Angga, mehapus ketegangan yang terjadi antara mereka. Namun Prita hanya tersenyum. Perlahan, Angga mengangkat tubuhnya. Bergerak kearah Prita tanpa ragu. Kali ini Prita benar-benar terjepit keadaan yang tak seharusnya ia alami. “Ngga, loe harus tetap disitu, jangan mendekat, jangan!!!!!", Prita membatin. Akan tetapi, tak urung kalimat itu terwujud, Angga telah sampai pada maksud hatinya. Ia tepat berada disamping Prita. Menatap gadis itu penuh hasrat. Dijamahnya tangan kecil Prita yang berada diatas meja tanpa permisi. Dengan sigap Prita menarik tangannya. Berusaha menenangkan keadaan yang tak ia inginkan. “Apa yang harus gue lakuin?”, lagi-lagi Prita bergumam dalam hati.
“Kenapa?"
“ Oh, ng.. nggak.”
Kalimat itu terucap dari mulut Prita dengan terbata. Angga mengalihkan pandangannnya. Mencoba untuk menetralisir keadaan, dan menenangkan hatinya yang tak tentu. Tapi, saat itupula ia menyadari akan adanya seseorang yang tak diundang hadir dalam acaranya. Lantas Angga tersenyum. Aryapun kian geram, dalam ketidakberdayaanya menyaksikan semua itu. Sementara Prita, masih dengan perasaan galau, berusaha untuk keluar dari situasi yang sulit ini. Angga memang seorang laki-laki yang baik. Prita pun tak pernah mengganggap bahwa Angga bukanlah tipe laki-laki yang dia inginkan. Hanya saja, perasaannya terhadap Arya sulit untuk ia hilangkan, terlebih saat ini hubungannya dengan Arya semakin dekat dan nyaris jadian.
Angga menggenggam tangan Prita kembali, dan kali ini Prita membalas genggaman tangan Angga sambil berujar pelan.
            “Ngga, selama ini gue tau apa yang lo rasain kegue”, ucap prita sembari menetap tajam kearah mata Angga. “Gue berterimakasih banget karna lo udah peduli gue, mau tau tentang gue, sayang sama gue, tapi gue belum bisa jadi apa yang lo mau sekarang.”
            Mendengar perkataan itu Angga terkulai layu, perasaannya hancur seketika. Wajah yang tadinya menatap kerah Prita, kini menunduk tak berdaya.
            “Angga liat gue!”, pinta Prita ke Angga, seraya mengangkat wajah Angga untuk kembali menatap matanya. “Lo itu baik.” Prita terdiam sejenak.
“Lo nggak pantes dapet perlakuan kaya gini dari gue, dan lo juga nggak bisa kaya gini terus. Gue yakin lo bisa dapet yang lo mau, tapi bukan gue. Kita masih bisa temenan kan? Jadi mohon, lo nggk perlu ngelakuin semua ini, gue juga jadi ngerasa bersalah. Maaf banget Ngga. Gue harap lo ngerti!” Ucap Prita lirih. Prita tak mampu untuk berucap lagi, karna ia tahu, dengan kata-katanya tadi, itu telah melukai perasaaan Angga yang terdalam. Tapi ia harus lakukan itu agar Angga mengerti jika Prita tak menyambut cintanya.
            “Gue ngerti!!”, jawab Angga kemudian. “Dan sekarang lo boleh pergi”, pinta Angga ke Prita. Namun Prita tak beranjak, masih diam terpaku menatap Angga penuh iba.
            “Gue bilang lo pergi!”, pinta Angga kembali, dan kali ini agak sedikit membentak. Prita terperanjat.
            “Angga…”, ucap Prita memelas. Namun kali ini Prita menyadari dan memahami bahwa dia pantas mendapatkan itu. Prita pun berdiri, beranjak meninggalkan Angga. Perlahan ia langkahkan kakinya, tapi masih berharap Angga akan memaafkannya, menerima semua yang terjadi dan menganggap bahwa kejadian ini tak akan membuat mereka bermusuhan.
Gue nggak boleh nangis. Ini memang yang harus gue lakuin.”
Prita berujar dalam hati, seraya berjalan pelan meninggalkan Angga sendirian dengan keterpurukan hatinya. Dan tanpa terasa, air matapun menetes dan membasahi kedua pipi Prita. Ia tak sanggup untuk memungkiri, bahwa ada hati yang terluka karnanya.
            Harapan Angga pun telah pupus. Surprise yang tadinya diharapkan akan meluluhkan hati Prita, malah berbalik keadaan. Belum sempat ia nyatakan cintanya, ungkapkan isi hatinya, Prita malah memintanya untuk menyerah. Hati siapa yang tak teriris. Dan tak ada juga yang pantas untuk di salahkan. Cinta itu tak mampu memaksa hati Prita untuk merasakan demikian.
Sementara itu Arya pun telah lama meninggalkan Prita dan Angga semenjak ia menyaksikan Prita menggenggam tangan Angga. Saat itu perasaan Arya terhadap Prita pun berubah jadi amarah dan kekecewaan. Arya berpikir bahwa Prita telah mengkhianatinya. Kejadian tadi siang di UKS sekolah, membuat Arya tak habis untuk berpikir,  apa yang sebenarnya Prita inginkan. Dan  tanpa di sadari oleh Prita, kini ada dua hati laki-laki yang terluka karnanya. - 

Gerimis


Nggak bermaskud untuk menjadi plagiat, tapi memang cerpen ini udah lama ku copy  dari internet. Awalnya aku bermaksud untuk menyiman ini buat koleksi pribadi, tapi karena aku udah buat blog ini, aku pengen kalian juga membacanya. Cerpen ini dikemas dengan gaya tulisan yang bagus dan penuh makna, itu alsan kenapa aku memposting ini kedalam blog punya ku. Salut juga buat yang ngerasa nulis cerpen ini, anda hebat :D maaf meng-copy paste karya anda :( bagi yang nggak ngerasa nulis, selamat membaca :)


Dia diam. Hanya badannya yang bersandar di tembok sesekali terguncang pelan. Ada danau menggenangi matanya. Ya, dia menangis diam-diam.
Sudah hampir dua jam aku merayunya berbicara. Namun, seberapa kalimat yang meluncur dari bibirku, selama itu pula ia memilih tak berbicara.
jujur aku bingung. Bibir mungilnya yag terbiasa ramai oleh bunyi kini terbungkam rapat tanpa suara. “Berceritalah..!” pintaku. Tetap tak tersahuti.
“Katakan di pucuk pohon mana kau menginginkan kita bercinta?” tanyaku menggodanya.
Mendengar kalimat itu, sebentar matanya menantang mataku. tapi, hanya sebentar. Kami memang tak pernah benar-benar berani bercinta.  setumpuk  firman  dalam kitab suci masih cukup untuk menakut-nakuti  kami berdua bila melakukannya. Sederet  nilai  seolah menjadi jangkar  yang memberati pikiran untuk meyakini bahwa hal kayak gitu mah biasa.. Bercinta di atas pohon tertinggi adalah imajinasi terliar yang pernah kami obrolkan. Hahaha, sungguh diskusi dua orang penakut.
Dia masih saja diam.
Sementara di luar, gerimis mulai turun. Sesekali tempias airnya masuk melewati lubang jendela kamarku yang tak tertutup rapat.
Kulirik jam dinding, sudah pukul 17.13 WIB.  Beberapa jam sudah berlalu sejak ia datang dalam diam. Aku sudah mulai kelelahan merayunya berbicara. Aku pun sudah hampir kehilangan kalimat-kalimatku sendiri. Aku mulai…
tiba-tiba saja dia berbicara “Aku hamil…tidak denganmu. tapi orang lain”
di Sebuah pesan singkat tiba2 muncul dalam inbox HP-ku.
"Kutunggu di taman yang dulu, jam lima sore ini. Salam. Alana"
Aku masih tak percaya. Kuulangi sekali lagi membacanya. Masih sama. Tak ada satu pun huruf yang berubah.
Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan teknologi aku mencoba mengamankan perasaanku dengan berusaha tak percaya.
Bagaimana mungkin Alana tiba-tiba muncul lagi dalam kehidupanku.
Telah delapan tahun aku mencoba mengubur segala ingatan tentangnya.
Let the dead is dead. Yang mati biarlah mati.
Aku berusaha kembali menekuri pekerjaanku yang nyaris terancam deadline. Tinggal satu halaman saja, maka aku bisa menyetorkannya pada redaktur sore ini juga.
Tak terlampau susah buatku untuk menyelesaikannya. Semua sudah ada di kepala.
Sedetik, dua detik, semenit, merambat satu jam.
Tanganku tiba-tiba terasa tak bisa bergerak. Dua puluh enam simbol alphabet ditambah 10 angka dan ikon-ikon lain dalam tuts keyboardku seolah hilang arti.
Bahkan tiba-tiba 17 inch layar monitor di depanku langsung menjelma dirinya. A L A N A...Ah, pesan yang dikirimnya sore ini tak kusadar telah mendera batin.
Ingatan kembali tentangnya kurasa bagai pukulan emosional yang nyaris tak terlawan.
Mungkin seperti ini rasanya ketika Superman bertemu hijau batu krypton?Arrgghh...mengapa aku masih saja seperti ini.Alana adalah kosong.
Nama dan bayangannya telah kubunuh bertahun-tahun lalu.
Aku memang telah memaafkan segala pengkhianatannya. Walau sangat berat aku berusaha menaruh egoku di koordinat terbawah waktu itu.
Ia hamil dengan orang lain. Ia tak pernah mau pernah mau bercerita siapa lelaki itu. Bahkan, sampai akhirnya ia pergi menghilang aku tetap tak mampu marah.
Pergilah dengan semua cinta yang kau punya. Biarkan aku berjalan semampunya dengan mengumpulkan sisa-sisa patahannya. Getirku sudah lenyap.
Sebab, kegetiran yang bertumpuk-tumpuk tak akan terasa lagi sebagai kegetiran. Ia hanya akan menjadi rasa yang biasa.Sudah jam lima lebih lima menit. Jika harus datang menemui Alana sore ini aku telah terlambat. Aku tak peduli. Ruang dan waktu hanyalah buatan manusia. Sementara rasaku adalah adikarya Tuhan yang bahkan tak diberikan-Nya kepada malaikat sekalipun.Tak sampai sepuluh menit aku telah tiba di taman.
Taman akasia tempat kami dulu sering menghabiskan hari. Aku berjalan menuju bangku kosong di bawah pohon akasia terbesar di pojok kiri taman. Tempat duduk favorit kami.
Aku duduk sendirian. Alana belum datang.
Alana bukan lagi kosong.
Sore ini ia berubah wujud menjadi teka-teki silang buatku.
Pertanyaan demi pertanyaan muncul tanpa jawaban.
Apa kabarnya?
Apakah yang diinginkannya dariku sore ini?
Masih kah wajahnya yang tirus membius itu mampu memompa adrenalinku?
Entahlah...Sedetik, dua detik, semenit merambat satu jam.
Alana belum juga datang.satu jam, dua jam, tiga jam. Alana belum juga hadir melegakan penantianku.
Gerimis mulai turun menemani malam yang semakin menua.
Sudah lima jam aku menunggu di bangku taman ini.
Sendiri.Akhirnya aku berdiri.
Berjalan menerobos gerimis.
Meninggalkan kosong, menuju pasti.Walau malam gerimis...

luar masih saja gerimis..

Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku pelan.
“Mari kita pulang. Biarkan dia istirahat dengan tenang”.
Aku menoleh, lalu mengangguk.
“Bukan hanya kamu yang merasa kehilangan. Tapi, sudahlah. Dia telah memilih jalannya sendiri,” ujar ayah Alana sambil tetap memegangi pundakku.
Aku berdiri, kemudian mengiringinya meninggalkan pekuburan tempat Alana baru saja ditanam.
Belum genap lima meter berjalan memunggungi kuburan, aku sudah diburu rindu. Kusempatkan lagi menengok gundukan tanah basah tempatnya menjalani tidur panjang tanpa mimpi.
Tiba-tiba saja aroma kamboja meruap. Lembut.
Dalam sedetik seluruh pekuburan menjelma putih kapas.Aku tergeragap. Ah, malaikat memang tak pernah mau hadir terlambat. Ia selalu datang dan beruluk salam pada penghuni baru, tepat setelah langkah ketujuh pelayat terakhir meninggalkan makam

-----------------------------------------------

Daun-daun akasia yang berwarna kuning banyak berjatuhan.
Ia seolah mengabarkan kelelahan bertahan menghadapi kemarau yang membakar dan tak putus-putus.
Senja ini aku duduk sendiri di bangku taman akasia.
Satu demi satu kubuka tiap lembar halaman buku harian Alana.
“Sebelum masuk rumah sakit jiwa Alana tak sekecap pun mau berbicara. Dia hanya menulis. Rupanya ada banyak hal yang ingin disampaikannya kepadamu. Ambillah! Kamu lebih berhak untuk menyimpannya,” ujar mama Alana ketika aku mampir ke rumahnya seusai pemakaman.
Membaca buku harian Alana membuat kesedihan tumpah ruah.

7 Desember 2004 (malam jahanam)
Tuhaaaaan!!!!!! Takdir macam apa ini?????KAU biarkan bajingan bajingan itu mengobrak-abrik kehormatanku, menindas kemanusiaanku. Apa salahku????? Bukankah KAU yang berkehendak menjadikanku perempuan???? Kenapa KAU relakan orang-orang itu melecehkan martabat yang sudah kujunjung tinggi-tinggi???? Aku benci KAU Tuhan. Aku benci Tuhan yang telah membiarkanku diperkosa.

30 Desember 2004
Lihat, lihatlah...aku mual-mual tanpa ampun. Jangan...Jangan sampai aku hamil oleh benih para jahanam itu. Tolong Tuhan, sekali ini saja dengar dan kabulkan permintaanku!

31 Desember 2004
Fucking Pregnant...!!!!!!!!!!

1 Januari 2005
Resolusi awal tahun: Bunuh Diri

7 Januari 2005
Menatap mata teduhmu sore tadi membuatku luluh lantak. Mengingat caramu merayuku berbicara seperti menahan rasa perih sebab tertikam tepat di ulu hati. Aku mencintaimu. Sebab itu kalimatku tak pernah sampai. Aku tak pernah tega mengabarimu yang sebenarnya. Aku ingin kau membenciku. Karena itu bisa mengeruk perasaan bersalahku yang bergunung-gunung kepadamu. Aku ingin kau membenciku, seperti aku membenci takdir yang berjalan buruk.

8 Januari 2005
Aku masih mencintai gerimis, dan membenci badai.

13 Januari 2005
Virginia Wolf membunuh dirinya sendiri dengan mencebur ke dalam sungai. Hitler tewas setelah menembak kepala sendiri di lubang persembunyiannya. Cak Sakib tetangga sebelah rumah mati dikeroyok massa karena dituduh dukun santet. Ustadz Rojil mengembuskan penghujung nafasnya saat sujud salat di musala rumahnya. Adakah bedanya bagiku? Tidak ada! Kematian sesungguhnya peristiwa biasa. Kecuali ia menimpa orang-orang dekat kita.

18 Januari 2005
Janin dalam rahimku tumbuh bersama kebencianku pada hidup.

21 April 2005 (Saat aku ragu apa gunanya menjadi perempuan)
Ini hari kartini. Sudah seminggu aku tergolek di rumah sakit, Mama memergoki dan menggagalkan usahaku bunuh diri. Aku tetap hidup, tapi janinku mati.

18 Agustus 2005
Lucu. orang-orang menganggapku mulai gila. Padahal, sungguh aku tidak apa-apa. Aku hanya muak pada garis dunia yang tidak berpihak kepadaku.

19 Maret 2007
Dear Ma.Li.K.
Tiba-tiba aku kangen kamu. Aku ingin menangis tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Aku ingin kita bertemu di taman yang dulu,tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Tahukah kau betapa sakitnya terpuruk pada keinginan yang tak sampai. Aku menyintaimu lebih dari sekedar yang bisa aku lakukan.
Alana.

21 Mei 2008
Hari ini aku masuk rumah sakit jiwa. Bukankah itu artinya aku sudah benar-benar gila??!!! Hahahahaha. Sungguh aneh orang-orang itu. Kamu percaya bahwa aku tidak gila kan?

28 Oktober 2008
Bisa jadi cinta memang buta, tapi kita tidak. Aku ingin memilihmu menjadi pengantinku di surga nanti. Kamu mau?

1 November 2008
Hari ini aku ulang tahun. Sejak pagi tadi aku sudah mandi.
Perawat rumah sakit memujiku cantik.
Iya, aku memang sengaja berdandan paling cantik hari ini.
Bukan untuk meniup lilin ulang tahun, tapi untuk pulang menuju Tuhan.
Dua hari lalu aku sudah berhasil mendapatkan arsenik yang kupesan pada tukang es cendol yang biasa mangkal di luar zaal rumah sakit jiwa.
Aku yakin racun itu akan menjadi menara Babel yang undakannya bisa mengantarku ke surga.Dunia, selamat tinggal.


Kututup buku harian Alana. Kurapalkan doa buatnya.
Lalu, kutinggalkan bangku taman akasia bersama gerimis yang tiba-tiba datang bersama semerbak kamboja.
Selamat sore Alana...