Nggak bermaskud untuk menjadi plagiat, tapi memang cerpen ini udah lama ku copy dari internet. Awalnya aku bermaksud untuk menyiman ini buat koleksi pribadi, tapi karena aku udah buat blog ini, aku pengen kalian juga membacanya. Cerpen ini dikemas dengan gaya tulisan yang bagus dan penuh makna, itu alsan kenapa aku memposting ini kedalam blog punya ku. Salut juga buat yang ngerasa nulis cerpen ini, anda hebat :D maaf meng-copy paste karya anda :( bagi yang nggak ngerasa nulis, selamat membaca :)
Dia
diam. Hanya badannya yang bersandar di tembok sesekali terguncang pelan. Ada
danau menggenangi matanya. Ya, dia menangis diam-diam.
Sudah hampir dua jam aku merayunya berbicara. Namun, seberapa kalimat yang meluncur dari bibirku, selama itu pula ia memilih tak berbicara.
jujur aku bingung. Bibir mungilnya yag terbiasa ramai oleh bunyi kini terbungkam rapat tanpa suara. “Berceritalah..!” pintaku. Tetap tak tersahuti.
“Katakan di pucuk pohon mana kau menginginkan kita bercinta?” tanyaku menggodanya.
Mendengar kalimat itu, sebentar matanya menantang mataku. tapi, hanya sebentar. Kami memang tak pernah benar-benar berani bercinta. setumpuk firman dalam kitab suci masih cukup untuk menakut-nakuti kami berdua bila melakukannya. Sederet nilai seolah menjadi jangkar yang memberati pikiran untuk meyakini bahwa hal kayak gitu mah biasa.. Bercinta di atas pohon tertinggi adalah imajinasi terliar yang pernah kami obrolkan. Hahaha, sungguh diskusi dua orang penakut.
Dia masih saja diam.
Sementara di luar, gerimis mulai turun. Sesekali tempias airnya masuk melewati lubang jendela kamarku yang tak tertutup rapat.
Kulirik jam dinding, sudah pukul 17.13 WIB. Beberapa jam sudah berlalu sejak ia datang dalam diam. Aku sudah mulai kelelahan merayunya berbicara. Aku pun sudah hampir kehilangan kalimat-kalimatku sendiri. Aku mulai…
tiba-tiba saja dia berbicara “Aku hamil…tidak denganmu. tapi orang lain”
di Sebuah pesan singkat tiba2 muncul dalam inbox HP-ku.
Sudah hampir dua jam aku merayunya berbicara. Namun, seberapa kalimat yang meluncur dari bibirku, selama itu pula ia memilih tak berbicara.
jujur aku bingung. Bibir mungilnya yag terbiasa ramai oleh bunyi kini terbungkam rapat tanpa suara. “Berceritalah..!” pintaku. Tetap tak tersahuti.
“Katakan di pucuk pohon mana kau menginginkan kita bercinta?” tanyaku menggodanya.
Mendengar kalimat itu, sebentar matanya menantang mataku. tapi, hanya sebentar. Kami memang tak pernah benar-benar berani bercinta. setumpuk firman dalam kitab suci masih cukup untuk menakut-nakuti kami berdua bila melakukannya. Sederet nilai seolah menjadi jangkar yang memberati pikiran untuk meyakini bahwa hal kayak gitu mah biasa.. Bercinta di atas pohon tertinggi adalah imajinasi terliar yang pernah kami obrolkan. Hahaha, sungguh diskusi dua orang penakut.
Dia masih saja diam.
Sementara di luar, gerimis mulai turun. Sesekali tempias airnya masuk melewati lubang jendela kamarku yang tak tertutup rapat.
Kulirik jam dinding, sudah pukul 17.13 WIB. Beberapa jam sudah berlalu sejak ia datang dalam diam. Aku sudah mulai kelelahan merayunya berbicara. Aku pun sudah hampir kehilangan kalimat-kalimatku sendiri. Aku mulai…
tiba-tiba saja dia berbicara “Aku hamil…tidak denganmu. tapi orang lain”
di Sebuah pesan singkat tiba2 muncul dalam inbox HP-ku.
"Kutunggu
di taman yang dulu, jam lima sore ini. Salam. Alana"
Aku
masih tak percaya. Kuulangi sekali lagi membacanya. Masih sama. Tak ada satu
pun huruf yang berubah.
Tanpa
bermaksud merendahkan kemampuan teknologi aku mencoba mengamankan perasaanku
dengan berusaha tak percaya.
Bagaimana
mungkin Alana tiba-tiba muncul lagi dalam kehidupanku.
Telah
delapan tahun aku mencoba mengubur segala ingatan tentangnya.
Let
the dead is dead. Yang mati biarlah mati.
Aku
berusaha kembali menekuri pekerjaanku yang nyaris terancam deadline. Tinggal
satu halaman saja, maka aku bisa menyetorkannya pada redaktur sore ini juga.
Tak
terlampau susah buatku untuk menyelesaikannya. Semua sudah ada di kepala.
Sedetik,
dua detik, semenit, merambat satu jam.
Tanganku
tiba-tiba terasa tak bisa bergerak. Dua puluh enam simbol alphabet ditambah 10
angka dan ikon-ikon lain dalam tuts keyboardku seolah hilang arti.
Bahkan
tiba-tiba 17 inch layar monitor di depanku langsung menjelma dirinya. A L A N
A...Ah, pesan yang dikirimnya sore ini tak kusadar telah mendera batin.
Ingatan
kembali tentangnya kurasa bagai pukulan emosional yang nyaris tak terlawan.
Mungkin
seperti ini rasanya ketika Superman bertemu hijau batu
krypton?Arrgghh...mengapa aku masih saja seperti ini.Alana adalah kosong.
Nama
dan bayangannya telah kubunuh bertahun-tahun lalu.
Aku
memang telah memaafkan segala pengkhianatannya. Walau sangat berat aku berusaha
menaruh egoku di koordinat terbawah waktu itu.
Ia
hamil dengan orang lain. Ia tak pernah mau pernah mau bercerita siapa lelaki
itu. Bahkan, sampai akhirnya ia pergi menghilang aku tetap tak mampu marah.
Pergilah
dengan semua cinta yang kau punya. Biarkan aku berjalan semampunya dengan
mengumpulkan sisa-sisa patahannya. Getirku sudah lenyap.
Sebab,
kegetiran yang bertumpuk-tumpuk tak akan terasa lagi sebagai kegetiran. Ia
hanya akan menjadi rasa yang biasa.Sudah jam lima lebih lima menit. Jika harus
datang menemui Alana sore ini aku telah terlambat. Aku tak peduli. Ruang dan
waktu hanyalah buatan manusia. Sementara rasaku adalah adikarya Tuhan yang
bahkan tak diberikan-Nya kepada malaikat sekalipun.Tak sampai sepuluh menit aku
telah tiba di taman.
Taman
akasia tempat kami dulu sering menghabiskan hari. Aku berjalan menuju bangku
kosong di bawah pohon akasia terbesar di pojok kiri taman. Tempat duduk favorit
kami.
Aku
duduk sendirian. Alana belum datang.
Alana
bukan lagi kosong.
Sore
ini ia berubah wujud menjadi teka-teki silang buatku.
Pertanyaan
demi pertanyaan muncul tanpa jawaban.
Apa
kabarnya?
Apakah
yang diinginkannya dariku sore ini?
Masih
kah wajahnya yang tirus membius itu mampu memompa adrenalinku?
Entahlah...Sedetik,
dua detik, semenit merambat satu jam.
Alana
belum juga datang.satu jam, dua jam, tiga jam. Alana belum juga hadir melegakan
penantianku.
Gerimis
mulai turun menemani malam yang semakin menua.
Sudah
lima jam aku menunggu di bangku taman ini.
Sendiri.Akhirnya
aku berdiri.
Berjalan
menerobos gerimis.
Meninggalkan
kosong, menuju pasti.Walau malam gerimis...
luar masih saja gerimis..
Seseorang
tiba-tiba menepuk pundakku pelan.
“Mari
kita pulang. Biarkan dia istirahat dengan tenang”.
Aku
menoleh, lalu mengangguk.
“Bukan
hanya kamu yang merasa kehilangan. Tapi, sudahlah. Dia telah memilih jalannya
sendiri,” ujar ayah Alana sambil tetap memegangi pundakku.
Aku
berdiri, kemudian mengiringinya meninggalkan pekuburan tempat Alana baru saja
ditanam.
Belum
genap lima meter berjalan memunggungi kuburan, aku sudah diburu rindu.
Kusempatkan lagi menengok gundukan tanah basah tempatnya menjalani tidur
panjang tanpa mimpi.
Tiba-tiba
saja aroma kamboja meruap. Lembut.
Dalam
sedetik seluruh pekuburan menjelma putih kapas.Aku tergeragap. Ah, malaikat
memang tak pernah mau hadir terlambat. Ia selalu datang dan beruluk salam pada
penghuni baru, tepat setelah langkah ketujuh pelayat terakhir meninggalkan
makam
-----------------------------------------------
Daun-daun akasia yang berwarna kuning banyak berjatuhan.
Ia
seolah mengabarkan kelelahan bertahan menghadapi kemarau yang membakar dan tak
putus-putus.
Senja
ini aku duduk sendiri di bangku taman akasia.
Satu
demi satu kubuka tiap lembar halaman buku harian Alana.
“Sebelum
masuk rumah sakit jiwa Alana tak sekecap pun mau berbicara. Dia hanya menulis.
Rupanya ada banyak hal yang ingin disampaikannya kepadamu. Ambillah! Kamu lebih
berhak untuk menyimpannya,” ujar mama Alana ketika aku mampir ke rumahnya
seusai pemakaman.
Membaca
buku harian Alana membuat kesedihan tumpah ruah.
7 Desember 2004 (malam jahanam)
Tuhaaaaan!!!!!! Takdir macam apa ini?????KAU biarkan bajingan bajingan itu mengobrak-abrik kehormatanku, menindas kemanusiaanku. Apa salahku????? Bukankah KAU yang berkehendak menjadikanku perempuan???? Kenapa KAU relakan orang-orang itu melecehkan martabat yang sudah kujunjung tinggi-tinggi???? Aku benci KAU Tuhan. Aku benci Tuhan yang telah membiarkanku diperkosa.
30 Desember 2004
Lihat, lihatlah...aku mual-mual tanpa ampun. Jangan...Jangan sampai aku hamil oleh benih para jahanam itu. Tolong Tuhan, sekali ini saja dengar dan kabulkan permintaanku!
31 Desember 2004
Fucking Pregnant...!!!!!!!!!!
1 Januari 2005
Resolusi awal tahun: Bunuh Diri
7 Januari 2005
Menatap mata teduhmu sore tadi membuatku luluh lantak. Mengingat caramu merayuku berbicara seperti menahan rasa perih sebab tertikam tepat di ulu hati. Aku mencintaimu. Sebab itu kalimatku tak pernah sampai. Aku tak pernah tega mengabarimu yang sebenarnya. Aku ingin kau membenciku. Karena itu bisa mengeruk perasaan bersalahku yang bergunung-gunung kepadamu. Aku ingin kau membenciku, seperti aku membenci takdir yang berjalan buruk.
8 Januari 2005
Aku masih mencintai gerimis, dan membenci badai.
13 Januari 2005
Virginia Wolf membunuh dirinya sendiri dengan mencebur ke dalam sungai. Hitler tewas setelah menembak kepala sendiri di lubang persembunyiannya. Cak Sakib tetangga sebelah rumah mati dikeroyok massa karena dituduh dukun santet. Ustadz Rojil mengembuskan penghujung nafasnya saat sujud salat di musala rumahnya. Adakah bedanya bagiku? Tidak ada! Kematian sesungguhnya peristiwa biasa. Kecuali ia menimpa orang-orang dekat kita.
18 Januari 2005
Janin dalam rahimku tumbuh bersama kebencianku pada hidup.
21 April 2005 (Saat aku ragu apa gunanya menjadi perempuan)
Ini hari kartini. Sudah seminggu aku tergolek di rumah sakit, Mama memergoki dan menggagalkan usahaku bunuh diri. Aku tetap hidup, tapi janinku mati.
18 Agustus 2005
Lucu. orang-orang menganggapku mulai gila. Padahal, sungguh aku tidak apa-apa. Aku hanya muak pada garis dunia yang tidak berpihak kepadaku.
19 Maret 2007
Dear Ma.Li.K.
Tiba-tiba aku kangen kamu. Aku ingin menangis tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Aku ingin kita bertemu di taman yang dulu,tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Tahukah kau betapa sakitnya terpuruk pada keinginan yang tak sampai. Aku menyintaimu lebih dari sekedar yang bisa aku lakukan.
Alana.
21 Mei 2008
Hari ini aku masuk rumah sakit jiwa. Bukankah itu artinya aku sudah benar-benar gila??!!! Hahahahaha. Sungguh aneh orang-orang itu. Kamu percaya bahwa aku tidak gila kan?
28 Oktober 2008
Bisa jadi cinta memang buta, tapi kita tidak. Aku ingin memilihmu menjadi pengantinku di surga nanti. Kamu mau?
1 November 2008
Hari
ini aku ulang tahun. Sejak pagi tadi aku sudah mandi.
Perawat
rumah sakit memujiku cantik.
Iya,
aku memang sengaja berdandan paling cantik hari ini.
Bukan
untuk meniup lilin ulang tahun, tapi untuk pulang menuju Tuhan.
Dua
hari lalu aku sudah berhasil mendapatkan arsenik yang kupesan pada tukang es
cendol yang biasa mangkal di luar zaal rumah sakit jiwa.
Aku
yakin racun itu akan menjadi menara Babel yang undakannya bisa mengantarku ke
surga.Dunia, selamat tinggal.
Kututup
buku harian Alana. Kurapalkan doa buatnya.
Lalu,
kutinggalkan bangku taman akasia bersama gerimis yang tiba-tiba datang bersama
semerbak kamboja.
Selamat
sore Alana...
No comments:
Post a Comment