Friday, December 21, 2012

Lope Luv (malam itu)

Ini adalah sepenggal adegan cerita yang pernah ku tulis. Judulnya Lope Luv. Nggak tau kenapa aku ngasih judul itu. Mungkin itu nggak ada artinya,  yang jelas ini tentang cinta. Cerita ini udah lama ku buat, tapi nggak pernah selesai karena selalu ada ide baru yang bermunculan, dan akupun akhirnya menghentikan cerita ini dan bersambung untuk menulis cerita yang lain. Baiklah, langsung saja.. ini dia, sepenggal cerita dari Lope Luv. Happy reading dear ^^




Derap langkah kaki menyelinap dikegelapan malam yang tak lama berselang. Jam menunjukan pukul 7.20. Seuntai kaki terlihat. Putih, terpancar sinar lampu jalanan.  Perlahan kaki itu terhenti pada pintu gerbang yang tak asing. Sesosok gadis berdiri manis. Dengan dress mini yang ia kenakan. Nampak ia sedang bingung. Menoleh-nolehkan kepalanya tak jelas. Namun kebingungannya terjawab, kala ia temukan sebuah papan terpampang tepat disamping gerbang dimana ia berdiri. Didekatinya papan itu dengan ragu-ragu. Didapatinya sebuah panah penunjuk jalan. Tanpa berpikir panjang, diikutinya tanda panah itu dengan yakin. Beberapa kali didapatinya tanda itu, membawanya sampai ketengah lapangan yang tiba-tiba saja terang bagaikan siang. Matanya terbelalak. Tak menyangka dengan apa yang dilihatnya saat itu. Sebuah spanduk besar, terpasang ditengah lapangan yang luas. Ditambah lampu-lampu yang berkelap-kelip. Dan satu buah meja lengkap dengan bunga, serta lilin kecil telah tersusun rapi. Sungguh diluar dugaan. Gadis itu lantas tertawa kecil. “so sweet“. Seketika kata itu terucap dari bibirnya yang merah. Ia berputar-putar perlahan, menikmati indahnya suasana yang ia dapat malam itu. Hanya saja, beberapa menit berselang, Tak jua nampak satu orangpun di balik ini semua. Gadis itu terdiam sejenak. Mengamati tulisan yang terpampang dispanduk besar.

“ Hati ini tlah letih, menunggu asa yang tak pasti, untuk menuju titik bahagia, dan berharap semuanya kan menjelang. Ini ku persembahkan untuk bidadari yang terkasih “.

Kata-kata yang menyentuh. Tergores dispanduk biru muda yang bersih. Dihiasi dengan beberapa lambang hati. Mendadak, muncul seorang laki-laki. Tegap ia berjalan. Membelakangi gadis yang tengah asik membaca tulisan dispanduk itu. Pelan ia mendekat.
“Eheem…”, laki-laki itu berdehem. Sigadis sigap berbalik arah, mengembangkan senyum yang lagi-lagi terpancar. Begitupun laki-laki itu, tersenyum dan terlihat rapi dengan baju yang ia kenakan. Tapi senyum dari gadis cantik itu tak lagi terlihat. Yang tertinggal hanyalah raut wajah heran, dan terpaku menyaksikan laki-laki yang berada didepannya. Ia mengernyitkan dahi.
“ Jadi?!!!”, gadis itu berujar. Menebak bahwa yang terjadi malam itu tlah direncanakan oleh sang laki-laki tersebut. Laki-laki mengangguk pelan, dan tersenyum lagi. Sigadis pun lantas tertunduk lesu. Perasaan kecewa mulai menghampiri. Ternyata apa yang ia pikirkan, tak sama hal nya dengan kenyataan yang ada. Laki-laki itu lantas menarik tangan sang gadis dan menyeret langkah menuju meja yang telah tersedia ditengah lapangan. Gadis itu tak bereaksi, hanya menundukan kepalanya dan mengikuti permainan sang laki-laki. Satu menit berselang, sampailah mereka ketempat yang dituju. -


Dirumah. Arya terlihat begitu antusias. Dengan kaos kuning yang dikenakannya, dan jaket jeans , menggerakan langkahnya dengan pasti, keluar rumah, dan berjalan menuju motor nya. Menstater motor itu, dan  motor itupun siap dikemudikan. Membawa Arya ketempat yang ia tuju. Perasaan senang kala itu menyelimuti hatinya. Hingga menghantarkan niatnya menemui Prita. Didalam perjalanan, Arya begitu santai menikmati semilir angin malam yang bertiup. Sesekali bersiul kecil. Seraya melirik jam tangan yang melingkar ditangan. Tak sabar menemui sang pujaan hati. Dan tak terasa, tiga puluh menit telah berlalu dari keberangkatannya tadi. Namun seketika pandangannya tertuju pada sebuah tempat yang tak asing tapi tak biasa. Sebuah sekolah dimana ia menghabiskan waktunya sehari-hari menuntut ilmu, nampak begitu terang dengan cahaya lampu yang gemerlap. Ia mengernyitkan dahi kemudian. Tak ayal, rasa penasaran pun muncul dari kebingungannya. Ia kemudian menepi. Menstandarkan motornya dan turun mendekati sekolah tersebut. Tanpa berpikir apa yang tengah terjadi didalam gedung sekolah, ia mulai masuk dan mengikuti tanda panah yang telah lama terpajang. Hingga membawanya jauh kedalam suasana sekolah yang sepi meski terlihat terang. Sampai saatnya ia menyaksikan, sebuah tontonan yang tak pernah terlintas dipikirannya sedikitpun. Didapatinya Prita dan Angga. Duduk berdua dalam satu meja dengan suasana yang romantis. Melihat peristiwa itu dari kejauhan, Arya benar-benar tak percaya. Berulang kali ia yakinkan kedua matanya bahwa gadis  yang dilihatnya itu bukanlah Prita yang ingin ia temui malam itu. Diusapnya kedua mata. Dan kembali mengamati apa yang nampak dari kejauhan. Kali ini ia benar-benar yakin bahwa gadis cantik yang berada satu meja dengan laki-laki itu ialah Prita. Perasaan cemburu pun tak dapat ditepis. Mengalahkan rasa tidak percaya  yang berubah menjadi kebisuan. Ia terhayut dalam lamunan sesaat. Tubuhnya lemas seketika. Mata yang tadinya bersinar, redup dalam kedipan mata yang penuh keputusasaan. Memerah, meluapkan sejuta kecewa. Senyum itu tak pula terlihat seperti beberapa menit yang lalu. Arya mengibaskan rambutnya belakangnya. Mendesah perlahan.
Sementara itu, dari tengah lapangan. Prita terlihat tak menikmati surprise dari Angga. Sejak ia mengetahui bahwa Angga yang berada dibalik semua ini, Prita tak mampu lagi untuk berujar. Mengungkapkan apa yang ia rasakan. Hanya menundukan kepalanya, dan sesekali mengangkat kepala itu seraya tersenyum kecil.
“Gimana? Lo suka?”, tanya Angga, mehapus ketegangan yang terjadi antara mereka. Namun Prita hanya tersenyum. Perlahan, Angga mengangkat tubuhnya. Bergerak kearah Prita tanpa ragu. Kali ini Prita benar-benar terjepit keadaan yang tak seharusnya ia alami. “Ngga, loe harus tetap disitu, jangan mendekat, jangan!!!!!", Prita membatin. Akan tetapi, tak urung kalimat itu terwujud, Angga telah sampai pada maksud hatinya. Ia tepat berada disamping Prita. Menatap gadis itu penuh hasrat. Dijamahnya tangan kecil Prita yang berada diatas meja tanpa permisi. Dengan sigap Prita menarik tangannya. Berusaha menenangkan keadaan yang tak ia inginkan. “Apa yang harus gue lakuin?”, lagi-lagi Prita bergumam dalam hati.
“Kenapa?"
“ Oh, ng.. nggak.”
Kalimat itu terucap dari mulut Prita dengan terbata. Angga mengalihkan pandangannnya. Mencoba untuk menetralisir keadaan, dan menenangkan hatinya yang tak tentu. Tapi, saat itupula ia menyadari akan adanya seseorang yang tak diundang hadir dalam acaranya. Lantas Angga tersenyum. Aryapun kian geram, dalam ketidakberdayaanya menyaksikan semua itu. Sementara Prita, masih dengan perasaan galau, berusaha untuk keluar dari situasi yang sulit ini. Angga memang seorang laki-laki yang baik. Prita pun tak pernah mengganggap bahwa Angga bukanlah tipe laki-laki yang dia inginkan. Hanya saja, perasaannya terhadap Arya sulit untuk ia hilangkan, terlebih saat ini hubungannya dengan Arya semakin dekat dan nyaris jadian.
Angga menggenggam tangan Prita kembali, dan kali ini Prita membalas genggaman tangan Angga sambil berujar pelan.
            “Ngga, selama ini gue tau apa yang lo rasain kegue”, ucap prita sembari menetap tajam kearah mata Angga. “Gue berterimakasih banget karna lo udah peduli gue, mau tau tentang gue, sayang sama gue, tapi gue belum bisa jadi apa yang lo mau sekarang.”
            Mendengar perkataan itu Angga terkulai layu, perasaannya hancur seketika. Wajah yang tadinya menatap kerah Prita, kini menunduk tak berdaya.
            “Angga liat gue!”, pinta Prita ke Angga, seraya mengangkat wajah Angga untuk kembali menatap matanya. “Lo itu baik.” Prita terdiam sejenak.
“Lo nggak pantes dapet perlakuan kaya gini dari gue, dan lo juga nggak bisa kaya gini terus. Gue yakin lo bisa dapet yang lo mau, tapi bukan gue. Kita masih bisa temenan kan? Jadi mohon, lo nggk perlu ngelakuin semua ini, gue juga jadi ngerasa bersalah. Maaf banget Ngga. Gue harap lo ngerti!” Ucap Prita lirih. Prita tak mampu untuk berucap lagi, karna ia tahu, dengan kata-katanya tadi, itu telah melukai perasaaan Angga yang terdalam. Tapi ia harus lakukan itu agar Angga mengerti jika Prita tak menyambut cintanya.
            “Gue ngerti!!”, jawab Angga kemudian. “Dan sekarang lo boleh pergi”, pinta Angga ke Prita. Namun Prita tak beranjak, masih diam terpaku menatap Angga penuh iba.
            “Gue bilang lo pergi!”, pinta Angga kembali, dan kali ini agak sedikit membentak. Prita terperanjat.
            “Angga…”, ucap Prita memelas. Namun kali ini Prita menyadari dan memahami bahwa dia pantas mendapatkan itu. Prita pun berdiri, beranjak meninggalkan Angga. Perlahan ia langkahkan kakinya, tapi masih berharap Angga akan memaafkannya, menerima semua yang terjadi dan menganggap bahwa kejadian ini tak akan membuat mereka bermusuhan.
Gue nggak boleh nangis. Ini memang yang harus gue lakuin.”
Prita berujar dalam hati, seraya berjalan pelan meninggalkan Angga sendirian dengan keterpurukan hatinya. Dan tanpa terasa, air matapun menetes dan membasahi kedua pipi Prita. Ia tak sanggup untuk memungkiri, bahwa ada hati yang terluka karnanya.
            Harapan Angga pun telah pupus. Surprise yang tadinya diharapkan akan meluluhkan hati Prita, malah berbalik keadaan. Belum sempat ia nyatakan cintanya, ungkapkan isi hatinya, Prita malah memintanya untuk menyerah. Hati siapa yang tak teriris. Dan tak ada juga yang pantas untuk di salahkan. Cinta itu tak mampu memaksa hati Prita untuk merasakan demikian.
Sementara itu Arya pun telah lama meninggalkan Prita dan Angga semenjak ia menyaksikan Prita menggenggam tangan Angga. Saat itu perasaan Arya terhadap Prita pun berubah jadi amarah dan kekecewaan. Arya berpikir bahwa Prita telah mengkhianatinya. Kejadian tadi siang di UKS sekolah, membuat Arya tak habis untuk berpikir,  apa yang sebenarnya Prita inginkan. Dan  tanpa di sadari oleh Prita, kini ada dua hati laki-laki yang terluka karnanya. - 

Gerimis


Nggak bermaskud untuk menjadi plagiat, tapi memang cerpen ini udah lama ku copy  dari internet. Awalnya aku bermaksud untuk menyiman ini buat koleksi pribadi, tapi karena aku udah buat blog ini, aku pengen kalian juga membacanya. Cerpen ini dikemas dengan gaya tulisan yang bagus dan penuh makna, itu alsan kenapa aku memposting ini kedalam blog punya ku. Salut juga buat yang ngerasa nulis cerpen ini, anda hebat :D maaf meng-copy paste karya anda :( bagi yang nggak ngerasa nulis, selamat membaca :)


Dia diam. Hanya badannya yang bersandar di tembok sesekali terguncang pelan. Ada danau menggenangi matanya. Ya, dia menangis diam-diam.
Sudah hampir dua jam aku merayunya berbicara. Namun, seberapa kalimat yang meluncur dari bibirku, selama itu pula ia memilih tak berbicara.
jujur aku bingung. Bibir mungilnya yag terbiasa ramai oleh bunyi kini terbungkam rapat tanpa suara. “Berceritalah..!” pintaku. Tetap tak tersahuti.
“Katakan di pucuk pohon mana kau menginginkan kita bercinta?” tanyaku menggodanya.
Mendengar kalimat itu, sebentar matanya menantang mataku. tapi, hanya sebentar. Kami memang tak pernah benar-benar berani bercinta.  setumpuk  firman  dalam kitab suci masih cukup untuk menakut-nakuti  kami berdua bila melakukannya. Sederet  nilai  seolah menjadi jangkar  yang memberati pikiran untuk meyakini bahwa hal kayak gitu mah biasa.. Bercinta di atas pohon tertinggi adalah imajinasi terliar yang pernah kami obrolkan. Hahaha, sungguh diskusi dua orang penakut.
Dia masih saja diam.
Sementara di luar, gerimis mulai turun. Sesekali tempias airnya masuk melewati lubang jendela kamarku yang tak tertutup rapat.
Kulirik jam dinding, sudah pukul 17.13 WIB.  Beberapa jam sudah berlalu sejak ia datang dalam diam. Aku sudah mulai kelelahan merayunya berbicara. Aku pun sudah hampir kehilangan kalimat-kalimatku sendiri. Aku mulai…
tiba-tiba saja dia berbicara “Aku hamil…tidak denganmu. tapi orang lain”
di Sebuah pesan singkat tiba2 muncul dalam inbox HP-ku.
"Kutunggu di taman yang dulu, jam lima sore ini. Salam. Alana"
Aku masih tak percaya. Kuulangi sekali lagi membacanya. Masih sama. Tak ada satu pun huruf yang berubah.
Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan teknologi aku mencoba mengamankan perasaanku dengan berusaha tak percaya.
Bagaimana mungkin Alana tiba-tiba muncul lagi dalam kehidupanku.
Telah delapan tahun aku mencoba mengubur segala ingatan tentangnya.
Let the dead is dead. Yang mati biarlah mati.
Aku berusaha kembali menekuri pekerjaanku yang nyaris terancam deadline. Tinggal satu halaman saja, maka aku bisa menyetorkannya pada redaktur sore ini juga.
Tak terlampau susah buatku untuk menyelesaikannya. Semua sudah ada di kepala.
Sedetik, dua detik, semenit, merambat satu jam.
Tanganku tiba-tiba terasa tak bisa bergerak. Dua puluh enam simbol alphabet ditambah 10 angka dan ikon-ikon lain dalam tuts keyboardku seolah hilang arti.
Bahkan tiba-tiba 17 inch layar monitor di depanku langsung menjelma dirinya. A L A N A...Ah, pesan yang dikirimnya sore ini tak kusadar telah mendera batin.
Ingatan kembali tentangnya kurasa bagai pukulan emosional yang nyaris tak terlawan.
Mungkin seperti ini rasanya ketika Superman bertemu hijau batu krypton?Arrgghh...mengapa aku masih saja seperti ini.Alana adalah kosong.
Nama dan bayangannya telah kubunuh bertahun-tahun lalu.
Aku memang telah memaafkan segala pengkhianatannya. Walau sangat berat aku berusaha menaruh egoku di koordinat terbawah waktu itu.
Ia hamil dengan orang lain. Ia tak pernah mau pernah mau bercerita siapa lelaki itu. Bahkan, sampai akhirnya ia pergi menghilang aku tetap tak mampu marah.
Pergilah dengan semua cinta yang kau punya. Biarkan aku berjalan semampunya dengan mengumpulkan sisa-sisa patahannya. Getirku sudah lenyap.
Sebab, kegetiran yang bertumpuk-tumpuk tak akan terasa lagi sebagai kegetiran. Ia hanya akan menjadi rasa yang biasa.Sudah jam lima lebih lima menit. Jika harus datang menemui Alana sore ini aku telah terlambat. Aku tak peduli. Ruang dan waktu hanyalah buatan manusia. Sementara rasaku adalah adikarya Tuhan yang bahkan tak diberikan-Nya kepada malaikat sekalipun.Tak sampai sepuluh menit aku telah tiba di taman.
Taman akasia tempat kami dulu sering menghabiskan hari. Aku berjalan menuju bangku kosong di bawah pohon akasia terbesar di pojok kiri taman. Tempat duduk favorit kami.
Aku duduk sendirian. Alana belum datang.
Alana bukan lagi kosong.
Sore ini ia berubah wujud menjadi teka-teki silang buatku.
Pertanyaan demi pertanyaan muncul tanpa jawaban.
Apa kabarnya?
Apakah yang diinginkannya dariku sore ini?
Masih kah wajahnya yang tirus membius itu mampu memompa adrenalinku?
Entahlah...Sedetik, dua detik, semenit merambat satu jam.
Alana belum juga datang.satu jam, dua jam, tiga jam. Alana belum juga hadir melegakan penantianku.
Gerimis mulai turun menemani malam yang semakin menua.
Sudah lima jam aku menunggu di bangku taman ini.
Sendiri.Akhirnya aku berdiri.
Berjalan menerobos gerimis.
Meninggalkan kosong, menuju pasti.Walau malam gerimis...

luar masih saja gerimis..

Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku pelan.
“Mari kita pulang. Biarkan dia istirahat dengan tenang”.
Aku menoleh, lalu mengangguk.
“Bukan hanya kamu yang merasa kehilangan. Tapi, sudahlah. Dia telah memilih jalannya sendiri,” ujar ayah Alana sambil tetap memegangi pundakku.
Aku berdiri, kemudian mengiringinya meninggalkan pekuburan tempat Alana baru saja ditanam.
Belum genap lima meter berjalan memunggungi kuburan, aku sudah diburu rindu. Kusempatkan lagi menengok gundukan tanah basah tempatnya menjalani tidur panjang tanpa mimpi.
Tiba-tiba saja aroma kamboja meruap. Lembut.
Dalam sedetik seluruh pekuburan menjelma putih kapas.Aku tergeragap. Ah, malaikat memang tak pernah mau hadir terlambat. Ia selalu datang dan beruluk salam pada penghuni baru, tepat setelah langkah ketujuh pelayat terakhir meninggalkan makam

-----------------------------------------------

Daun-daun akasia yang berwarna kuning banyak berjatuhan.
Ia seolah mengabarkan kelelahan bertahan menghadapi kemarau yang membakar dan tak putus-putus.
Senja ini aku duduk sendiri di bangku taman akasia.
Satu demi satu kubuka tiap lembar halaman buku harian Alana.
“Sebelum masuk rumah sakit jiwa Alana tak sekecap pun mau berbicara. Dia hanya menulis. Rupanya ada banyak hal yang ingin disampaikannya kepadamu. Ambillah! Kamu lebih berhak untuk menyimpannya,” ujar mama Alana ketika aku mampir ke rumahnya seusai pemakaman.
Membaca buku harian Alana membuat kesedihan tumpah ruah.

7 Desember 2004 (malam jahanam)
Tuhaaaaan!!!!!! Takdir macam apa ini?????KAU biarkan bajingan bajingan itu mengobrak-abrik kehormatanku, menindas kemanusiaanku. Apa salahku????? Bukankah KAU yang berkehendak menjadikanku perempuan???? Kenapa KAU relakan orang-orang itu melecehkan martabat yang sudah kujunjung tinggi-tinggi???? Aku benci KAU Tuhan. Aku benci Tuhan yang telah membiarkanku diperkosa.

30 Desember 2004
Lihat, lihatlah...aku mual-mual tanpa ampun. Jangan...Jangan sampai aku hamil oleh benih para jahanam itu. Tolong Tuhan, sekali ini saja dengar dan kabulkan permintaanku!

31 Desember 2004
Fucking Pregnant...!!!!!!!!!!

1 Januari 2005
Resolusi awal tahun: Bunuh Diri

7 Januari 2005
Menatap mata teduhmu sore tadi membuatku luluh lantak. Mengingat caramu merayuku berbicara seperti menahan rasa perih sebab tertikam tepat di ulu hati. Aku mencintaimu. Sebab itu kalimatku tak pernah sampai. Aku tak pernah tega mengabarimu yang sebenarnya. Aku ingin kau membenciku. Karena itu bisa mengeruk perasaan bersalahku yang bergunung-gunung kepadamu. Aku ingin kau membenciku, seperti aku membenci takdir yang berjalan buruk.

8 Januari 2005
Aku masih mencintai gerimis, dan membenci badai.

13 Januari 2005
Virginia Wolf membunuh dirinya sendiri dengan mencebur ke dalam sungai. Hitler tewas setelah menembak kepala sendiri di lubang persembunyiannya. Cak Sakib tetangga sebelah rumah mati dikeroyok massa karena dituduh dukun santet. Ustadz Rojil mengembuskan penghujung nafasnya saat sujud salat di musala rumahnya. Adakah bedanya bagiku? Tidak ada! Kematian sesungguhnya peristiwa biasa. Kecuali ia menimpa orang-orang dekat kita.

18 Januari 2005
Janin dalam rahimku tumbuh bersama kebencianku pada hidup.

21 April 2005 (Saat aku ragu apa gunanya menjadi perempuan)
Ini hari kartini. Sudah seminggu aku tergolek di rumah sakit, Mama memergoki dan menggagalkan usahaku bunuh diri. Aku tetap hidup, tapi janinku mati.

18 Agustus 2005
Lucu. orang-orang menganggapku mulai gila. Padahal, sungguh aku tidak apa-apa. Aku hanya muak pada garis dunia yang tidak berpihak kepadaku.

19 Maret 2007
Dear Ma.Li.K.
Tiba-tiba aku kangen kamu. Aku ingin menangis tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Aku ingin kita bertemu di taman yang dulu,tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Tahukah kau betapa sakitnya terpuruk pada keinginan yang tak sampai. Aku menyintaimu lebih dari sekedar yang bisa aku lakukan.
Alana.

21 Mei 2008
Hari ini aku masuk rumah sakit jiwa. Bukankah itu artinya aku sudah benar-benar gila??!!! Hahahahaha. Sungguh aneh orang-orang itu. Kamu percaya bahwa aku tidak gila kan?

28 Oktober 2008
Bisa jadi cinta memang buta, tapi kita tidak. Aku ingin memilihmu menjadi pengantinku di surga nanti. Kamu mau?

1 November 2008
Hari ini aku ulang tahun. Sejak pagi tadi aku sudah mandi.
Perawat rumah sakit memujiku cantik.
Iya, aku memang sengaja berdandan paling cantik hari ini.
Bukan untuk meniup lilin ulang tahun, tapi untuk pulang menuju Tuhan.
Dua hari lalu aku sudah berhasil mendapatkan arsenik yang kupesan pada tukang es cendol yang biasa mangkal di luar zaal rumah sakit jiwa.
Aku yakin racun itu akan menjadi menara Babel yang undakannya bisa mengantarku ke surga.Dunia, selamat tinggal.


Kututup buku harian Alana. Kurapalkan doa buatnya.
Lalu, kutinggalkan bangku taman akasia bersama gerimis yang tiba-tiba datang bersama semerbak kamboja.
Selamat sore Alana...