Friday, May 3, 2013

E-mail Terakhir

Hari ini Tara merasa sangat rapuh. Tubuhnya gemetar dan ia merasa tidak bertenaga. Hari ini Tatsuya akan pulang ke Jepang. Tidak akan kembali ke Paris lagi.
Awalnya ia memang tidak ingin tahu kapan tepatnya Tatsuya akan pulang ke Jepang, tetapi akhirnya ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia bertanya pada Sebastien. Sebastien memberitahunya dan bertanya apa yang akan dilakukannya.  Terus terang saja, Tara tidak tahu. Ia tidak berencana melakuka apa-apa. Ia hanya ingin tahu. Ingin merasa yakin.
Tara tidak masuk kerja hari ini dengan alasan sakit. Ia memang sakit. Sangat sakit. Ia tidak bisa melakukan apa pun, hanya duduk diranjang dan melamun.
Apakah ia perlu menelpon Tatsuya?
Apakah ia perlu mengantarnya ke bandara?
Apakah ia sanggup mengucapkan selamat tinggal sekali lagi?
Tidak, sebaiknya ia tidak melakukan semua itu. Itu hanya akan menghancurkan dirinya. Biar Sebastien saja yang akan mengantarkan Tatsuya ke bandara. Biar Sebastien saja yang mengucapkan selamat tinggal. Tara sendiri tidak sanggup melakukannya.
Sebastien juga berjanji akan menelponnya jika Tatsuya sudah pergi.
Tiba-tiba ia mendengar ponselnya berdering. Dengan cepat ia meraih ponsel dan menempelkannya ketelinga. “Allo?”
“Tara?”
“Elise?” gumam tara dan bahunya merosot.
“Aku menelponmu untuk memberitahu supaya kau mendengarkan siaranku nanti.”
“Kenapa?”
“Ini penting sekali.” Suara Elise terdengar serius.
“Katakan padaku, Elise,” desak Tara.
“Monsieur Fujitatsu menulis e-mail lagi.”
Tara menahan napas.
“Dan ini e-mail terakhirnya.”
***
“Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai? Aku tahu.”
Kalimat pembuka dari Tatsuya itu membuat Tara menahan napas.
“Aku memang baru mengenalnya, tapi rasanya sudah mengenalnya seumur hidup. Dan tiba-tiba saja aku sadar dia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam hidupku.”
“Aku pertama kali bertemu dengannya di bandara Charles de Gaulle. Lalu tanpa sengaja aku bertemu dengannya lagi di sebuah kelab ketika dia agak mabuk dan salah menyebut nama si bartender. Aku akhirnya tahu namanya dipertemuan kami yang ketiga. Salah seorang temanku memperkenalkannya padaku. Selama ini aku tak pernah percaya dengan yang namanya kebetulan, tetapi ini seperti takdir. Karena akhirnya aku mendapatkan kesempatan  mengenalnya.”
“Saat itu juga aku memutuskan akan mencoba keberuntunganku. Sudah tiga kali aku bertemu dengannya tanpa sengaja – tentu saja saat itu dia tidak tahu, karena sejauh yang dia tahu, kami bertemu pertama kalinya saat temannya memperkenalkan kami – dan aku memutuskan jika setelah pertemuan ini aku bisa bertemu dengannya secara kebetulan, aku akan mengambil langkah pertama dan mengajaknya keluar.
“Bintang keberuntungku ternyata sedang bersinar terang saat itu. aku bertemu dengannya lagi tanpa sengaja. Kali ini dia yang datang menghampiri dan menyapaku. Harus ku akui, aku begitu terpana sampai-sampai mendadak bisu sesaat. Aku tahu aku harus menepai janjiku sendiri. Aku pun mengajaknya menemuiku ke museum.
“Benar, gadis misterius yang kutemui di bandara dan Gadis Musim Gugur adalah orang yang sama.
“hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup melambungakanmu setinggi langit, kali lainnya hidup menghempaskanmu begitu keras ke bumi. Ketika aku menyadari dialah satu-satunya yang paling ku butuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak ditelingaku dia juga satu-satunya orang yang tidak boleh kudapatkan. Kata-kataku mungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi percayalah, aku rela melepaskan apa saja, melakukan apa saja, asal bisa bersamanya.
“Satu-satunya yang bisa ku lakukan sekarang adalah keluar dari hidupnya. Aku tidak akan melupakan dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya walaupun itu berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku mencoba melakukannya. Pasti butuh waktu lama sebelum aku bisa menatapnya tanpa merasakan apa yang kurasakan setiap kali aku melihatnya. Mungkin suatu hari nanti – aku tidak tahu kapan – rasa sakit ini akan hilang dan saat itu kami baru akan bertemu kembali.”
Tepat saat itu terdengar bunyi ponsel. Secara otomatis Tara meraih ponselnya dan menempelkannya ketelinga. Tidak peduli ponselnya jadi basah karena air matanya yang mengalir deras.
“Tara?” Suara Sebastien terdengar ditelinganya. “Aku ada di bandara. Pesawat Tatsuya baru saja tinggal landas.”
Tara tidak bisa mendangar suara Sebastien lagi. Ponselnya terlepas dari genggaman dan jatuh ke ranjang. Napasnya mulai tersendat-sendat dan dadanya sakit setiap kali ia berusaha menarik napas. Namun ia bisa mendengar suara pelan Elise yang membacakan surat Tatsuya.
“Sekarang… Saat ini saja… Untuk beberapa detik saja… aku ingin bersikap egois. Aku ingin melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar belakangku. Tanpa beban, tuntutan, ataupun harapan, aku ingin mengaku.
            “Aku mencintainya.”                                                                              
Saat itulah secuil kendali diri Tara yang rapuh akhirnya hancur berkeping-keping dan tangisnya pun pecah. Ia membenamkan wajahnya dalam kedua tangan dan tersedu-sedu. Seluruh tubuhnya berguncang keras. Ia membiarkan isakannya, sedu-sedannya, air matanya tumpah keluar. Ia tidak bisa menahannya walaupun ia ingin. ia hanya berharap sepenuh hati, dengan begitu rasa sakit dan kepedihannya juga akan berkurang, walaupun sedikit. Karena ia sungguh tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya terhadap lubang besar yang menganga didalam dadanya. Tempat hatinya dulu berada.

Sinopsis

Tara Dupont menyukai Paris dan musim gugur. Ia mengira sudah memiliki segalanya dalam hidup... Sampai ia bertemu Tatsuya Fujisawa yang susah ditebak dan selalu membangkitkan rasa penasarannya sejak awal. 

tatsuya Fujisawa benci Paris dan musim gugur. Ia datang ke Paris untuk mencari orang yang menghancurkan hidupnya. Namun ia tidak menduga akan terpesona pada Tara Dupont, gadis yang cerewet tapi bisa menenangkan jiwa dan pikirannya... juga mengubah dunianya.

Tara dan tatsuya sama sekali tidak menyadari benang yang menghubungkan mereka dengan masa lalu, adanya rahasia yang menghancurkan segala harapan, perasaan dan keyakinan. Ketika kebenaran terungkap, tersingkap pula arti putus asa... arti tak berdaya... Kenyataan juga begitu menyakitkan hingga mendorong salah satu dari mereka ingin mengakhiri hidup...

Seandainya masih ada harapan-----sekecil apa pun-----untuk bisa mengubah kenyataan,ia bersedia menggantungkan hidupnya pada harapan itu...