Tuesday, August 20, 2013

I am Twenty One



Saat bangun, aku tidak merasa bahwa hari ini berbeda dengan hari-hari biasanya. Matahari itu masih terbit dari sebelah timur, dan jarum jam pun masih bergerak dalam hitungan detik. Sejak pagi hari, aku sibuk mempersiapkan diri untuk final test 2 mata kuliah yang akan ku jalani hari ini, tanpa berpikir bahwa ini adalah hari yang special untuk ku.
Aku memang menunggu untuk hari ini, bukan karena ini tanggal 20 Agustus, tapi karena aku ingin cepat-cepat terbebas dari dua matakuliah yang ku ambil di semester pendek tahun ini.
Sejak pagi juga, beberapa ucapan Happy Birthday masuk melalui media sosial. Ya, today is my birthday^^, aku mengingatnya seketika.
Aku senang, mereka mengingat hari ini. Mengapresiasikan ulang tahunku meski hanya dengan beberapa kalimat, merangkai kata-kata sedemikian rupa, mengirimkannya disertai doa tulus. Sebagian besar mendoakan agar aku panjang umur, sehat selalu, lancar skripsi, langgeng sama my special one, hee.. Aku cuma bisa mengucap kata AMIN, berharap doa mereka akan Allah dengar, berharap mereka pun akan di rahmati.
Dan aku mulai berpikir, jika meraka berdoa yang terbaik untuk ku dimasa depan, lantas kenapa aku harus menyambut 21 tahun ini dengan tujuan tak pasti? Apakah aku harus membiarkan waktu begitu cepat berlalu dan mengganti umurku dengan angka baru? Benarkah hanya seperti itu? I have a goal, and will be make it happen.
Bagiku XXI bukanlah angka yang asing lagi di telingaku, tapi jika aku ketik angka itu dengan 2 plus 1, sepertinya aku kurang mengenal dua deret angka itu. Namun, hari ini aku mengenalnya lebih dekat. Ya, hari ini umurku menginjak 21 tahun. Cukup tua, bukan? Aku juga berpikir begitu, tadinya.
Tapi ini bukanlah berbicara tentang seberapa tua umurku sekarang, tapi ini tentang tanggung jawab yang akan menyertaiku mulai hari ini. Hmmm.., ini akan jadi awal yang menyenangkan pastinya. Segalanya berawal dihari ini, umur baru, semangat baru.
21! Nothing special wishes. Aku hanya berharap bahwa kehidupan yang baik akan menyertai setiap langkah yang ku ambil sekarang, hingga pada saatnya aku akan tersenyum pada diriku sendiri, dan berkata, I’m the champion J
Thanks for all your felicitation, friends.. Love you so much, and especially you, my lovely :)

Tuesday, May 14, 2013

I’d Lie - Taylor Swift

 

I don?t think that passenger seat
Has ever looked this good to me
He tells me about his night
And I count the colors in his eyes
He?ll never fall in love he swears
As he runs his fingers through his hair
I?m laughing cause I hope he’s wrong
I don’t think it ever crossed his mind
He tells a joke I fake a smile
That I know all his favorite songs
And..

[chorus:]
I could tell you his favorite color’s green
He loves to argue, born on the seventeenth
His sister’s beautiful, he has his father?s eyes
And if you asked me if I love him,
I?d lie
 
He looks around the room
Innocently overlooks the truth
Shouldn?t a light go on?
Doesn?t he know that I?ve had him memorized for so long?
He sees everything black and white
Never let nobody see him cry
I don?t let nobody see me wishing he was mine

[chorus]
He stands there then walks away
My god if I could only say
I?m holding every breath for you…
 
He?d never tell you but he can play guitar
I think he can see through everything
But my heart
First thought when I wake up is
My god he?s beautiful
So I put on my make up
And pray for a miracle

Yes I could tell you his favorite color’s green
He loves to argue oh and it kills me
His sisters beautiful he has his father?s eyes
And if you asked me if I love him
If you asked me if I love him
I?d lie


sumber: http://www.cariliriklagu.com/2008/10/id-lie-lyrics-taylor-swift/

Friday, May 3, 2013

E-mail Terakhir

Hari ini Tara merasa sangat rapuh. Tubuhnya gemetar dan ia merasa tidak bertenaga. Hari ini Tatsuya akan pulang ke Jepang. Tidak akan kembali ke Paris lagi.
Awalnya ia memang tidak ingin tahu kapan tepatnya Tatsuya akan pulang ke Jepang, tetapi akhirnya ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia bertanya pada Sebastien. Sebastien memberitahunya dan bertanya apa yang akan dilakukannya.  Terus terang saja, Tara tidak tahu. Ia tidak berencana melakuka apa-apa. Ia hanya ingin tahu. Ingin merasa yakin.
Tara tidak masuk kerja hari ini dengan alasan sakit. Ia memang sakit. Sangat sakit. Ia tidak bisa melakukan apa pun, hanya duduk diranjang dan melamun.
Apakah ia perlu menelpon Tatsuya?
Apakah ia perlu mengantarnya ke bandara?
Apakah ia sanggup mengucapkan selamat tinggal sekali lagi?
Tidak, sebaiknya ia tidak melakukan semua itu. Itu hanya akan menghancurkan dirinya. Biar Sebastien saja yang akan mengantarkan Tatsuya ke bandara. Biar Sebastien saja yang mengucapkan selamat tinggal. Tara sendiri tidak sanggup melakukannya.
Sebastien juga berjanji akan menelponnya jika Tatsuya sudah pergi.
Tiba-tiba ia mendengar ponselnya berdering. Dengan cepat ia meraih ponsel dan menempelkannya ketelinga. “Allo?”
“Tara?”
“Elise?” gumam tara dan bahunya merosot.
“Aku menelponmu untuk memberitahu supaya kau mendengarkan siaranku nanti.”
“Kenapa?”
“Ini penting sekali.” Suara Elise terdengar serius.
“Katakan padaku, Elise,” desak Tara.
“Monsieur Fujitatsu menulis e-mail lagi.”
Tara menahan napas.
“Dan ini e-mail terakhirnya.”
***
“Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai? Aku tahu.”
Kalimat pembuka dari Tatsuya itu membuat Tara menahan napas.
“Aku memang baru mengenalnya, tapi rasanya sudah mengenalnya seumur hidup. Dan tiba-tiba saja aku sadar dia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam hidupku.”
“Aku pertama kali bertemu dengannya di bandara Charles de Gaulle. Lalu tanpa sengaja aku bertemu dengannya lagi di sebuah kelab ketika dia agak mabuk dan salah menyebut nama si bartender. Aku akhirnya tahu namanya dipertemuan kami yang ketiga. Salah seorang temanku memperkenalkannya padaku. Selama ini aku tak pernah percaya dengan yang namanya kebetulan, tetapi ini seperti takdir. Karena akhirnya aku mendapatkan kesempatan  mengenalnya.”
“Saat itu juga aku memutuskan akan mencoba keberuntunganku. Sudah tiga kali aku bertemu dengannya tanpa sengaja – tentu saja saat itu dia tidak tahu, karena sejauh yang dia tahu, kami bertemu pertama kalinya saat temannya memperkenalkan kami – dan aku memutuskan jika setelah pertemuan ini aku bisa bertemu dengannya secara kebetulan, aku akan mengambil langkah pertama dan mengajaknya keluar.
“Bintang keberuntungku ternyata sedang bersinar terang saat itu. aku bertemu dengannya lagi tanpa sengaja. Kali ini dia yang datang menghampiri dan menyapaku. Harus ku akui, aku begitu terpana sampai-sampai mendadak bisu sesaat. Aku tahu aku harus menepai janjiku sendiri. Aku pun mengajaknya menemuiku ke museum.
“Benar, gadis misterius yang kutemui di bandara dan Gadis Musim Gugur adalah orang yang sama.
“hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup melambungakanmu setinggi langit, kali lainnya hidup menghempaskanmu begitu keras ke bumi. Ketika aku menyadari dialah satu-satunya yang paling ku butuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak ditelingaku dia juga satu-satunya orang yang tidak boleh kudapatkan. Kata-kataku mungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi percayalah, aku rela melepaskan apa saja, melakukan apa saja, asal bisa bersamanya.
“Satu-satunya yang bisa ku lakukan sekarang adalah keluar dari hidupnya. Aku tidak akan melupakan dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya walaupun itu berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku mencoba melakukannya. Pasti butuh waktu lama sebelum aku bisa menatapnya tanpa merasakan apa yang kurasakan setiap kali aku melihatnya. Mungkin suatu hari nanti – aku tidak tahu kapan – rasa sakit ini akan hilang dan saat itu kami baru akan bertemu kembali.”
Tepat saat itu terdengar bunyi ponsel. Secara otomatis Tara meraih ponselnya dan menempelkannya ketelinga. Tidak peduli ponselnya jadi basah karena air matanya yang mengalir deras.
“Tara?” Suara Sebastien terdengar ditelinganya. “Aku ada di bandara. Pesawat Tatsuya baru saja tinggal landas.”
Tara tidak bisa mendangar suara Sebastien lagi. Ponselnya terlepas dari genggaman dan jatuh ke ranjang. Napasnya mulai tersendat-sendat dan dadanya sakit setiap kali ia berusaha menarik napas. Namun ia bisa mendengar suara pelan Elise yang membacakan surat Tatsuya.
“Sekarang… Saat ini saja… Untuk beberapa detik saja… aku ingin bersikap egois. Aku ingin melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar belakangku. Tanpa beban, tuntutan, ataupun harapan, aku ingin mengaku.
            “Aku mencintainya.”                                                                              
Saat itulah secuil kendali diri Tara yang rapuh akhirnya hancur berkeping-keping dan tangisnya pun pecah. Ia membenamkan wajahnya dalam kedua tangan dan tersedu-sedu. Seluruh tubuhnya berguncang keras. Ia membiarkan isakannya, sedu-sedannya, air matanya tumpah keluar. Ia tidak bisa menahannya walaupun ia ingin. ia hanya berharap sepenuh hati, dengan begitu rasa sakit dan kepedihannya juga akan berkurang, walaupun sedikit. Karena ia sungguh tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya terhadap lubang besar yang menganga didalam dadanya. Tempat hatinya dulu berada.

Sinopsis

Tara Dupont menyukai Paris dan musim gugur. Ia mengira sudah memiliki segalanya dalam hidup... Sampai ia bertemu Tatsuya Fujisawa yang susah ditebak dan selalu membangkitkan rasa penasarannya sejak awal. 

tatsuya Fujisawa benci Paris dan musim gugur. Ia datang ke Paris untuk mencari orang yang menghancurkan hidupnya. Namun ia tidak menduga akan terpesona pada Tara Dupont, gadis yang cerewet tapi bisa menenangkan jiwa dan pikirannya... juga mengubah dunianya.

Tara dan tatsuya sama sekali tidak menyadari benang yang menghubungkan mereka dengan masa lalu, adanya rahasia yang menghancurkan segala harapan, perasaan dan keyakinan. Ketika kebenaran terungkap, tersingkap pula arti putus asa... arti tak berdaya... Kenyataan juga begitu menyakitkan hingga mendorong salah satu dari mereka ingin mengakhiri hidup...

Seandainya masih ada harapan-----sekecil apa pun-----untuk bisa mengubah kenyataan,ia bersedia menggantungkan hidupnya pada harapan itu...

Saturday, April 6, 2013

I Saw You

Terimakasih telah mengunjungi blog ini. Finally, cerpen I Saw You  selesai jam 09.30 WITA di malam minggu. Setelah tertanam cukup lama, akhirnya selesai juga :D Meskipun sedikit memaksa, tapi hasilnya cukup memuaskan. Semoga kalian senang dengan cerita ini, Happy reading dear ^^



1 jam yang lalu, aku memutusakan untuk mendownload sebuah lagu yang saat ini tengah  mengiang ditelinga ku. Lagu itu ku download disebuah situs internet dimana ribuan lagu gratis bertengger disana. You Belong With Me, Taylor Swift, menghentak didalam kamarku. Sudah berulang kali lagu itu ku putar lewat handphone  dan nyaris tak pernah bosan untuk ku dengar.  Terlebih saat aku menyadari setiap bait dari lagu itu seakan mewakili perasaan asing yang beberapa bulan terakhir ini makin menjadi. Cukup mengganggu memang, tapi hingga detik ini aku masih menikmatinya. Masih. Dan entah kenapa lagu ini perlahan membawaku kedalam lamunan tentang kejadian siang hari ini. Kejadian yang cukup membuatku kacau sekarang.

Apakah ini yang disebut patah hati layaknya orang yang sedang putus cinta?. Tapi aku tak memiliki pasangan. Bagaimana pula patah hati dapat ku sebut untuk menggambarkan perasaaanku? Yang ku tau, aku memiliki seorang teman. Teman laki-laki, yang sering ku sebut sebagai sahabat. Namanya Jimmy. Jimmy Laurent.

Bagi ku Jim sesempurna lelaki didalam Novel. Ya, ‘Jim’, begitu lah aku sering memanggilnya. Lebih mudah dibanding aku harus menyebutnya dengan kata Jimmy. Tidak. Itu hanya panggilan khusus yang ku buat untuknya. Jim yang bertubuh tinggi, memiliki kulit putih dan rambut dengan poni depan yang selalu ia kibaskan. Matanya teduh dengan hiasan bola mata berwarna abu-abu. Gayanya memang seperti laki-laki inggris kebanyakan, namun senyum manisnya menjadi ciri khas tersendiri dari seorang Jim.

Teman Jim memang tak hanya aku. Dia juga memilki teman laki-laki yang seiring mengajaknya bermain base ball, mengajaknya ngobrol, mungkin sekedar untuk membahas kaumnya, atau  salah satu gang yang terkenal di The Royal Veterinary College, universitas yang saat ini menaungiku. Gang “Wolly”. Salah satu gang yang selalu ingin eksis karena mereka merasa memiliki wajah paling cantik, seksi, dan “menggoda”. Mereka juga berasal dari keluarga terpandang, mungkin hal itu juga yang membuat mereka seakan berkuasa. Terlebih pada wanita yang ingin ataupun tidak sengaja menyaingi mereka. Ya, ya, ya, Megie, Alice, Lily dan… Entahlah, aku juga tak tau persis setiap anggota gang Wolly, tapi yang jelas aku tidak menyukai mereka. Kembali kepada Jim. Oh iya, Jim juga pernah mengaku bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan Megi. Demi tuhan, aku sangat menyesalkan ketika Jim membuat pengakuan itu. Tapi itu dulu. Meskipun begitu untuk menghargai dan mendengarkan ceritanya, terkadang aku berpura-pura menyukai Megie, dan bertingkah seperti aku mendukung hubungannya dengan Jimmy. Tak peduli apapun, bagiku Jim itu sederhana meski ia tak bisa lepas dari sifat playboynya. Dengan segala kelebihan fisik dan kebaikannya, dari sisi manapun aku meilhat Jim, dia seperti menghipnotis dan membawaku kealam bawah sadar. Alam dimana aku tak lagi bisa mengingat bahwa aku hanya lah seorang sahabat bagi Jim, dan tak lebih dari itu. Aku selalu mengaguminya. Memujinya diam-diam adalah hal yang sering ku lakukan. Meski iapun tak jarang memuji dan mengatakan jika aku wanita paling brilliant yang pernah ia temui. Aku hanya bisa tersenyum kecut saat dia berkata demikian. Entah apa alasan dibalik itu. Tak dipungkiri aku juga ingin Jim memujiku dengan sebutan lain. melihatku dari sisi yang lain. Aku memang tak secantik Gang Wolly, ataupun wanita Inggris kebanyakan. Aku hanya wanita yang selalu berusaha ada untuk sahabatku. Bagiku, Jim adalah teman istimewa. Tak terkecuali setelah kejadian tadi siang.

03.45 AM..

Aku tengah mencoba mengatur nafasku sedemikian rupa setelah berlari-lari di koridor kampus dan berhenti ditaman belakang. Cukup melelahkan. Namun dinginnya cuaca diluar tetap membuatku tak berkeringat. Aku merapatkan mantel yang ku kenakan.


1 jam yang lalu, aku mendapatkan telpon dari Jim. Nada bicaranya terdengar serius dari ujung telpon. Dia memintaku untuk segera menemuinya, tapi aku tak bisa menuruti karena harus mengikuti latihan  untuk acara drama musikal yang akan diadakan bulan depan. Aku tak perlu menjelaskan tentang hal itu, karena Jim sudah tau. Dia bersedia untuk menunggu ditaman, tempat biasa kami melepas penat. Dan dalam 1 menit seusai latihan, aku telah sampai ditempat itu. Ku dapati Jim tengah asik duduk sembari mengamati benda kecil ditangannya. 

            “Hay Jim,” ucapku sesampainya mendekat kearah Jimmy, lalu duduk disampingnya. 

           “Hay Mercy,” sapanya ketika menyadari keberadaaanku, kemudian tersenyum. Senyumnya terlihat seperti biasa, dan tak ada sesuatu yang aneh.

       “Ada apa menelponku dan rela menunggu selama ini?, ada masalah?” Aku mulai membuka pembicaraan dan memasang wajah serius, menatap laki-laki yang tengah berada disampingku. Ia tak menoleh, sibuk dengan handphone yang ada ditangannya.

            “Tidak.” Jawabnya ringan. 

            “Lalu?” Tanyaku lagi. Ia hanya tersenyum tipis, menyingkap poni yang menurun.

 “Sedang apa kau? Serius sekali.” Aku mulai penasaran dengan sesuatu yang selalu Jim perhatikan dihandphonenya sejak kedatanganku beberapa menit yang lalu. 

            “Coba kau lihat dia!” Sembari menyodorkan handphonenya kearahku, Jim memperlihatkan sebuah foto yang tertera dihandphonenya. “Bagaimana menurutmu?”

            “Dia?” Aku terkejut mendapati foto yang ia tunjukkan. Sean Willsmith. Rasa penasaranku mulai meningkat tajam. “Pasangan barumu?” Aku menebak penuh curiga, dan mencoba untuk mengatur detak jantung yang mulai tak beraturan,  takut dengan jawaban yang akan Jim katakan.

            Jim mengangguk pelan dan penuh keyakinan. Sesuai dengan dugaanku. Akupun hanya bisa diam. Terjebak dengan pikiranku sendiri. Gadis itu memang cantik. Tapi apa aku harus mengakuinya?, apa aku harus menyakiti perasaanku dengan kata-kataku sendiri?, aku belum siap menyadari jika dia memang jauh lebih cantik dibanding aku, bahkan jauh lebih baik, mungkin.

            “Jadi kau menungguku hanya untuk ini?”

           Jim tersenyum, seakan tak ada yang salah dengan ini. Ya.. Dia memang tak tau jika ini tak seperti yang ku harapkan.

          Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya bersama rasa kesal yang tiba-tiba datang, namun mencoba untuk setenang mungkin. 

            “Aku yakin kau pasti bisa menilai apa yang terbaik untukmu, Jim.” Kata-kata itu spontan ku ucapkan padanya. Atas dasar apa, aku tak mengerti. Kemudian menyunggingkan senyum padanya. Senyum palsu yang selalu ku jadikan senjata andalan. Yang jelas ada perasaan cemburu, ada perasaan kecewa. Ku dapati ekspresi Jim berubah bingung. Akupun tak menghiraukan kode itu. Moodku tiba-tiba hilang. Ingin sekali rasanya lenyap. Menyadarkan diriku bahwa aku tak pantas, tak lebih pantas untuk seorang Jim. Dan akan selalu ada kata ‘tidak mungkin’ antara aku dan sahabatku.

            “Jawaban macam apa itu?, kau pasti tau, Mercy, bukan itu jawaban yang ingin ku dengar”. Jim mulai protes atas jawabanku, tetap dengan gayanya yang santai, mengibaskan poni, memandangku penuh harapan.
            “Apa?” Aku menantangnya menjelaskan jawaban yang ia harapkan dariku. Jimmy tak menyahut. “Bukankah itu jawaban paling diplomatis untuk pertanyaanmu?. Dan apapun jawaban yang kuberikan, ku rasa kau tetap pada keputusanmu, bukan?” Emosiku mulai terpancing.

            “Mungkin kau bisa menjawabnya dengan berkata ‘dia cantik Jim, dia seksi, dia cocok sekali denganmu’.” Jim menirukan gayaku bicara, kemudian melanjutkan. “Atau semacamnya.”

            “Apakah itu jawaban yang ingin kau dengar?” Aku tertawa kecil. “Seperti yang sudah-sudah, aku yakin ini tak akan bertahan lama.”

“Kali ini tidak,” jawabnya cepat. 

Dadaku terasa sesak. Seakan tertancap serpihan hatiku sendiri. Aku memalingkan wajah kearah Jimmy, menatapnya tajam. Ia tidak menyadari jika ia telah melukaiku. Tidak seharusnya ia mengatakan itu. Benarkah kali ini ia akan serius dengan Sean?. Aku cemas tapi berusaha mengabaikan pengakuannya. Kini sakit itu semakin terasa dalam.

“Sudahlah Jim, kita harus cepat pulang sebelum salju benar-benar turun.” Aku merapatkan mantel yang ku kenakan. ”Oh iya, kau tidak perlu mengantarku karena aku ada urusan setelah ini,” ucapku seraya berdiri, dan bergegas pergi meninggalkan Jimmy. Ia menghentikan langkahku seketika. Menarik pergelangan tanganku.

            “Pulang?” Jimmy terdengar geram, meski aku tak melihat ekspresi yang ia tunjukan. Dia seperti tak menerima keputusanku yang tiba-tiba. Ia kembali berkata. “Kau tau betapa membosankannya menunggu selama 1 jam?” Ia melepaskan genggamannya. 

Aku semakin yakin jika aku mulai terjebak oleh rasaku sendiri. Detak jantung yang semakin kencang. Aliran napas yang seakan berhenti, menegaskan jika aku benar-benar menyukainya. Sangat suka. Saat tangan itu menyentuh pergelanganku, menggenggam erat meski tanpa arti. Ya… itu semua tak ada artinya. 

            “Ya. Tapi untuk bertanya tentang wanitamu, kau tidak keberatan menunggu selama ini, bukan?. lagipula aku tidak memintamu untuk menungguku.”

            “Ayo lah Mercy, ada apa denganmu? Aku yakin kau tidak sedang sakit sekarang. Apa urusan yang kau sebut tadi adalah tentang masalahmu?, katakan saja, kau tau aku akan selalu membantumu.” Jimmy  menurunkan nada suaranya dan berusaha untuk lebih lembut padaku.

            “Aku baik-baik saja, Jim, dan tidak dalam masalah.”

            “Lantas?, apa kau sudah tidak peduli dengan sahabatmu yang satu ini?” Ia merengek.

 Meksipun terkadang Jimmy seperti anak manja yang haus perhatian seperti sekarang, tapi kali ini  ego ku lebih kuat dari yang ia bayangkan.

            “Berhenti berpikir seperti itu. Cepatlah atau aku akan meninggalkanmu.”

           “Kau akan meninggalkanku? Sendirian?, Ku rasa kau benar-benar dalam masalah. Sudahlah, jika tak mau cerita. Tinggalkan aku jika kau ingin pergi!” 

Jimmy menyerah untuk membujukku. Ia kembali duduk dikursi panjang itu. Dan tiba-tiba saja handphnonenya berdering. Menyelinap diantara emosi yang ada diantara kami. Ia tak menjawab telpon itu setelah sempat melihat sang penelpon dilayar.

            Sesuatu hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya dan hal yang selalu aku takutkan, aku tidak bisa mengontrol emosiku, tidak bisa menahan perasaan yang tak sepantasnya hadir. Dan benar saja. Jika dulu aku selalu mendukung dengan siapapun ia berkencan, dengan siapapun dia menjalin hubungan, tapi tidak untuk kali ini. Aku terlalu mencintainya, juga mencintai diriku sendiri. Lalu apa yang bisa ku lakukan?. Bukan karena wanita itu buruk untuknya, bukan pula karena ia lebih cantik dariku. Bukan. Tapi lebih karena perasaanku sendiri, setidaknya tidak akan seperti ini jika orang itu bukanlah Sean. 

            Aku menarik napas sedalam mungkin. Menetralkan emosiku. Sesaat kami hanyut dalam diam. Ia masih saja duduk dikursi itu, dan aku tetap pada posisiku. Berdiri memandangnya. Aku kemudian berpikir, tidak seharunya aku seegois ini. Bukankah dia sahabatku?. Hanya sahabat. Apa hak ku untuk marah padanya?. Bukan dia yang memintaku untuk menyukainya. Perasaan ini muncul begitu saja, buah dari rasa kagumku yang berlebihan. Harusnya aku tau diri. Harusnya cukup dengan menjadi sahabatnya, dan bersikap baik padanya. Ya.. Hanya itu yang harus ku lakukan. 

            Ini memang menyakitkan. Tapi bukankah orang-orang diluar sana selalu bilang, cinta tak harus memiliki dan cinta tumbuh atas kehendakmu. Mungkin ini akan terus menjadi ceritaku, bukan menjadi cerita dalam hidupnya.

            Aku mendekat kearah Jimmy. Duduk disampingnya. Ia tak menoleh. Masih menerawang jauh keseluruh penjuru taman. Dan seketika, salju pertama mulai turun. Meski aku tak berhasil menyeret pandangannya, aku tetap mencoba untuk mengajaknya bicara, tepatnya ingin meminta maaf padanya atas sikapku. Dan aku tau ini akan menjadi akhir dari rasa ini.

            “Maafkan aku Jimmy.” Aku ku padanya, lirih. “Dengar, bukankah aku selalu mengatakan padamu bahwa aku akan mendukung apapun yang menjadi keputusanmu?, apapun!” Aku diam beberapa saat, dan melanjutkan. “Aku hanya ingin kau berusaha untuk lebih serius dengan siapapun gadis yang menjalin hubungan denganmu.” Jimmy masih tak bereaksi. “Oke, aku memang tak bermaksud menggurui, tapi dengan begitu, kau juga akan merasa senang, bukan?. Selama ini kau selalu bertanya apa yang salah dengan dirimu?, kenapa kau tidak bisa berlama-lama dengan teman kencanmu?. Jawabannya mungkin karena kau belum mengetahui apa yang terbaik untuk dirimu sendiri. Dan sekarang, aku yakin kau sudah tau tentang itu, Jim. Dia cantik. Aku mengenalnya dengan baik karena dia temanku.” 

           Jimmy menunjukkan wajah terkejut, sama terkejutnya ketika aku melihat foto Sean di handphonenya. Dia tak tau jika aku berteman dengan Sean. Kini aku mencoba tersenyum selebar mungkin. Setelah membuat pernyataan yang menyesakkan. Kemudian menatap dalam kearah bola matanya yang redup. Ia balas menatapku. Memegang pipiku dengan kedua telapak tangannya. Aku berharap ia tak akan merasakan apapun, karena jujur, aku merasakan pipiku merona sejadi-jadinya. Kenapa dia selalu bersikap seperti ini?. Tentu saja karena aku sahabatnya, kan?. Ini hal wajar. Tapi aku selalu salah mengartikan sikapnya. Aku menunduk. Bingung reaksi apa yang kiranya tepat untuk ku tunjukkan. 

            “Kau tidak sedang marah padaku, kan?”

Ia mendekatkan wajahnya. Memasang wajah dengan seuntai senyum yang paling ku suka. Pertanyaan yang tiba-tiba muncul setelah lama ia terdiam. Aku menggeleng. Mengurai senyum yang ku paksakan. Ia melepaskan kedua tangannya. 

Seandainya bisa sedikit lebih lama, biarkan tangan itu menyentuh pipiku. Merasakan betapa lembutnya desiran darah yang hangat, bercampur dengan dinginnya salju yang turun. Dan setelah itu, akan ku relakan dengan siapapun dia. Hanya hingga detik ini, aku ingin bersamanya lebih lama. Bukan sebagai sahabat, tapi sebagai teman wanitanya. Seandainya itu mungkin, seandainya ia tau. 

            “Kau tau, aku akan selalu menganggapmu sebagai  wanita paling brilliant yang pernah ku temui. Jadi bagaimanapun, kau akan selalu menjadi yang istimewa.”

            Kalian dengar, itulah kata-kata yang ia ucapkan. Kata-kata yang berhail meruntuhkan semangatku. Menyadarkan ku untukku kesekian kalinya jika ini ceritaku, bukan ceritanya. Tapi setidaknya ini akan menjadi awal yang baik. Terlebih untuk diriku sendiri. Mungkin. Dan.. entahlah. Lagi-lagi iya tersenyum. Senyum yang tak boleh lagi ku kagumi dari sekarang. 
            
         “Baiklah Mercy, bukankah kau bilang kau ada urusan?. Pergilah, aku tidak akan menghalangimu.” Ia memasukkan handphone kedalam tas. “Aku juga minta maaf jika selalu membuatmu kesal. Percayalah Mercy, kau teman terbaikku.” Ia menganggkat lengannya dan mendaratkan keatas kepalaku. Ia mengelus rambutku, lembut.
 
            Ya.. teman terbaik! Aku tersenyum padanya.

        “Kau tau, kau laki-laki menyebalkan yang pernah ku temui.” Ucapku mengejeknya. Kami saling bertatapan dalam diam, lalu tertawa bersama.

Dan sejak saat itu ku pikir aku akan benar-benar melupakannya. 1 detik setelah itu dan sampai beberapa jam sekarang ini. Ternyata tidak.-

Wednesday, March 27, 2013

Baek Ji Young – 한참 지내서 / After Long Time (OST Rooftop Prince) with Indonesian translation

마주보며 나누던 얘기들 우리둘만 알았던 얘기들
majubomyeo nanudeon yaegideul uridulman aratdeon yaegideul
지울수없나봐 버릴순없나봐 잊지못하나봐
jiulsueomnabwa beorilsuneomnabwa itjimotanabwa
오랜만에 둘러본 거리들
oraenmane dulleobon georideul
이길을 지날때면 좋아했던 기억이
igireul jinalttaemyeon johahaetdeon gieogi
자꾸 떠올라서 발길을 멈춘다
jakku tteoollaseo balgireul meomchunda
한참 지나서 나 지금여기 왔어
hancham jinaseo na jigeumyeogi wasseo
그때가 그리워서 모른체 살아도 생각나더라
geuttaega geuriwoseo moreunche sarado saenggangnadeora
그런 너라서 자꾸눈에 밟혀서
geureon neoraseo jakkunune barphyeoseo
함께 보낸 시간들 추억들도 별처럼 쏟아지는데 넌 어떠니
hamkke bonaen sigandeul chueokdeuldo byeolcheoreom ssodajineunde neon eotteoni
 행복해만 보이는 사람들
haengbokhaeman boineun saramdeul
나만 혼자 외로이 남은 것만같아서
naman honja oeroi nameun geotmangataseo
아닌 척해봐도 니생각이난다
anin cheokhaebwado nisaenggaginanda
한참지나서 나 지금여기 왔어
hanchamjinaseo na jigeumyeogi wasseo
그때가 그리워서 모른체 살아도 생각나더라
geuttaega geuriwoseo moreunche sarado saenggangnadeora
그런 너라서 자꾸눈에 밟혀서
geureon neoraseo jakkunune barphyeoseo
함께 보낸 시간들 추억들도 별처럼 쏟아지는데 눈물이나
hamkke bonaen sigandeul chueokdeuldo byeolcheoreom ssodajineunde nunmurina
여기서널 기다리면 볼수있을까
yeogiseoneol gidarimyeon bolsuisseulkka
그땐말해줄수있을까 이런내 마음을
geuttaenmalhaejulsuisseulkka ireonnae maeumeul
보고싶어서 더보고싶어져서
bogosipeoseo deobogosipeojyeoseo
그런 나라서 난 너밖에 몰라서
geureon naraseo nan neobakke mollaseo
너없이살다보니 모든게 후회로 가득하더라
neoeobsisaldaboni modeunge huhoero gadeukhadeora
니가없어서 허전한게 더 많아서
nigaeobseoseo heojeonhange deo manhaseo
오늘도 발걸음은 이자리가 그리워 가지못하고 불러본다 oneuldo balgeoreumeun ijariga geuriwo gajimotago bulleobonda

 Indonesian translate: http://haerajjang.wordpress.com
Saat bertemu kita berbagi cerita, cerita dimana hanya kita berdua yang tahu
Sepertinya aku tak dapat menghapus, membuang, dan melupakannya
Aku mengedarkan pandangan ke jalan cukup lama
Kenangan yang kusukai saat melewati jalan ini
terus menerus muncul sehingga menghentikan langkah kakiku
Setelah sekian lama hingga saat aku datang kemari saat ini
Aku merindukan masa itu, hingga tanpa sadar aku memikirkan kehidupan saat itu
Karena dirimu yang terus menerus melangkah di mataku
Kenangan saat-saat menghabiskan waktu bersama seperti bintang bertaburan, namun
bagaimana dengan dirimu?
Orang-orang terlihat bahagia
Hanya aku yang sepertinya dibiarkan sendiri, kesepian
Tak ada kepura-puraan, aku memikirkanmu
Setelah sekian lama hingga saat aku datang kemari saat ini
Aku merindukan masa itu, hingga tanpa sadar aku memikirkan kehidupan saat itu

Karena dirimu yang terus menerus melangkah di mataku
Kenangan saat-saat menghabiskan waktu bersama seperti bintang bertaburan, namun
aku menangis
Dapatkah kau melihatku saat aku menantimu di sini?
Dapatkah nantinya aku menyatakan perasaanku?
Aku merindukanmu, bahkan lebih merindukanmu
Karena dirimu, aku hanya tahu tentang dirimu
Kehidupan tanpamu, semua penuh dengan penyesalan
Tanpa dirimu, aku merasakan banyak kehampaan
Hari inipun langkah kakiku merindukan tempat ini, tak dapat beranjak dan memanggilmu.