Wednesday, April 2, 2014

2 Maret 2014


Jam 3 sore tepatnya, saat sebuah pesan kau  tujukan padaku di sela waktu sibukmu. Aku tau kau akan melakukannya. Aku tau kau  ingat betul tanggal berapa ini. 2 Maret 2014. Tahun ketiga hubungan kita. Seperti yang sudah-sudah, kita akan merayakannya ditempat yang sama. Sebuah rumah makan berundak di Bukit Pakar Timur, kota Bandung. Tempat pertama kita berjumpa; tempat yang menjadi saksi tumbuhnya cinta antara kita; tempat dimana kau tumpahkan segala harapmu padaku 3 tahun yang lalu. Kubacalah pesanmu dengan antusias, seperti surat cinta yang kau kirimkan selepas hujan. Bahasamu yang begitu meyakinkan, membuat pikiranku  menggelitik jahil seketika. Mungkinkah telah kau siapkan kejutan untuk hari istimewa kita? Ah.. Aku tak berani berandai-andai, mengingat kau pun tentu tak ada waktu untuk itu, kau tentu lebih memilih mengabiskan waktu bersama proyek barumu. Membuatku merasa di duakan oleh masadepan yang selalu kau janjikan.   Alhasil, belakangan ini kita jarang bertemu. Hanyalah rentetan pesan yang kau kirimkan untuk mewakili perhatianmu, seperti sekarang ini. Menanyakan kesibukanku seharian, dan bercerita hal lain yang terlalu sering kuperdengankan.

Jam 5.15 pun bercerita. Aku telah sampai ditempat yang kau alamatkan. Tempat romatis yang tidak terlalu besar. Dengan anak tangga yang menjulang dari pintu masuk hingga puncak di setiap meternya, kemudian membawaku  pada balkon yang menjorok keluar. Disinilah kita habiskan waktu bersama setiap kalinya. Duduk di salah satu meja yang berada di pojokan, seperti yang kulakukan kali ini. Pikirku, pandangan kita akan bertemu dikejauhan saat aku tiba di sini.  Lalu aku duduk di depanmu sembari mengulas senyum termanis andalanku dan kita mulai bercengkrama, ditemani suasana intim dan tenang saat matahari jatuh diupuk barat sana. Ternyata tidak.

Kini aku tengah menunggumu, ditemani secangkir cappucino hangat tidaklah buruk menurutku. Meski 15 menit telah berselang melewati batas waktu yang kau janjikan. Aku pasti akan menunggumu dengan sabar sembari menikmati live music yang bersenandung, samar-samar. Ketika petikan gitar dan suara biola mengiringi setiap nada yang keluar dari mulut sang biduan. Aku berharap kau akan secepatnya datang hingga akan banyak waktu yang tersisa untuk kita hingga petang. 

Dan 1 menit, 2 menit, hingga tak kusadari merambat ke 1 jam, bahkan lebih, masih saja tak kutemui siluetmu tiba di puncak tangga, sementara 2 meja lain di atas sini telah berganti penghuni. Apakah semangatku terlalu berlebihan? hingga tak menyadari waktu tak akan bersamaku menunggu lama disini. Membuatku kehilangan selera, membuat gemulai lilin di atas meja tak seindah sebelumnya. Tidaklah salah jika egoisku mulai berontak, tak mampu menahan kecewa yang kian memuncak. Bukankah ini terlalu sering kau lakukan? Lantas kesabaran mana lagi yang hendak kau uji kini? 

Aku mulai tak yakin sekarang. Tak seyakin saat kau kirimkan pesan itu. Benarkah kau ingat hari ini?  2 Maret 2014, berlalu bersama hujan yang semakin deras. Dan kau pastinya tahu, aku akan tetap menunggumu, selalu menunggu, seperti biasanya. .

Secangkir Mocca



Telah kutinggalkan  kisah kita, 
bersama secangkir mocca yang kuhirup pagi ini...
Disudut balkon sebuah apartemen, 
tempat kita mengakhiri ketidakpastian...
Aroma tubuhmu tak lagi menyeruak, 
seperti tadi malam, 
dan hanyalah aroma mocca yang kudapati disepanjang penciumanku...
Tak pula kudapati dirimu yang menangis sesegukkan, 
menggenggam ruas jemariku penuh sesal...
Secangkir mocca kini mengganti tangan lembutmu di genggamanku, 
mengalahkan manisnya janji yang kau ucap terakhir kali...
Secangkir mocca yang memang tak sepahit kisah kita...