Saturday, April 6, 2013

I Saw You

Terimakasih telah mengunjungi blog ini. Finally, cerpen I Saw You  selesai jam 09.30 WITA di malam minggu. Setelah tertanam cukup lama, akhirnya selesai juga :D Meskipun sedikit memaksa, tapi hasilnya cukup memuaskan. Semoga kalian senang dengan cerita ini, Happy reading dear ^^



1 jam yang lalu, aku memutusakan untuk mendownload sebuah lagu yang saat ini tengah  mengiang ditelinga ku. Lagu itu ku download disebuah situs internet dimana ribuan lagu gratis bertengger disana. You Belong With Me, Taylor Swift, menghentak didalam kamarku. Sudah berulang kali lagu itu ku putar lewat handphone  dan nyaris tak pernah bosan untuk ku dengar.  Terlebih saat aku menyadari setiap bait dari lagu itu seakan mewakili perasaan asing yang beberapa bulan terakhir ini makin menjadi. Cukup mengganggu memang, tapi hingga detik ini aku masih menikmatinya. Masih. Dan entah kenapa lagu ini perlahan membawaku kedalam lamunan tentang kejadian siang hari ini. Kejadian yang cukup membuatku kacau sekarang.

Apakah ini yang disebut patah hati layaknya orang yang sedang putus cinta?. Tapi aku tak memiliki pasangan. Bagaimana pula patah hati dapat ku sebut untuk menggambarkan perasaaanku? Yang ku tau, aku memiliki seorang teman. Teman laki-laki, yang sering ku sebut sebagai sahabat. Namanya Jimmy. Jimmy Laurent.

Bagi ku Jim sesempurna lelaki didalam Novel. Ya, ‘Jim’, begitu lah aku sering memanggilnya. Lebih mudah dibanding aku harus menyebutnya dengan kata Jimmy. Tidak. Itu hanya panggilan khusus yang ku buat untuknya. Jim yang bertubuh tinggi, memiliki kulit putih dan rambut dengan poni depan yang selalu ia kibaskan. Matanya teduh dengan hiasan bola mata berwarna abu-abu. Gayanya memang seperti laki-laki inggris kebanyakan, namun senyum manisnya menjadi ciri khas tersendiri dari seorang Jim.

Teman Jim memang tak hanya aku. Dia juga memilki teman laki-laki yang seiring mengajaknya bermain base ball, mengajaknya ngobrol, mungkin sekedar untuk membahas kaumnya, atau  salah satu gang yang terkenal di The Royal Veterinary College, universitas yang saat ini menaungiku. Gang “Wolly”. Salah satu gang yang selalu ingin eksis karena mereka merasa memiliki wajah paling cantik, seksi, dan “menggoda”. Mereka juga berasal dari keluarga terpandang, mungkin hal itu juga yang membuat mereka seakan berkuasa. Terlebih pada wanita yang ingin ataupun tidak sengaja menyaingi mereka. Ya, ya, ya, Megie, Alice, Lily dan… Entahlah, aku juga tak tau persis setiap anggota gang Wolly, tapi yang jelas aku tidak menyukai mereka. Kembali kepada Jim. Oh iya, Jim juga pernah mengaku bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan Megi. Demi tuhan, aku sangat menyesalkan ketika Jim membuat pengakuan itu. Tapi itu dulu. Meskipun begitu untuk menghargai dan mendengarkan ceritanya, terkadang aku berpura-pura menyukai Megie, dan bertingkah seperti aku mendukung hubungannya dengan Jimmy. Tak peduli apapun, bagiku Jim itu sederhana meski ia tak bisa lepas dari sifat playboynya. Dengan segala kelebihan fisik dan kebaikannya, dari sisi manapun aku meilhat Jim, dia seperti menghipnotis dan membawaku kealam bawah sadar. Alam dimana aku tak lagi bisa mengingat bahwa aku hanya lah seorang sahabat bagi Jim, dan tak lebih dari itu. Aku selalu mengaguminya. Memujinya diam-diam adalah hal yang sering ku lakukan. Meski iapun tak jarang memuji dan mengatakan jika aku wanita paling brilliant yang pernah ia temui. Aku hanya bisa tersenyum kecut saat dia berkata demikian. Entah apa alasan dibalik itu. Tak dipungkiri aku juga ingin Jim memujiku dengan sebutan lain. melihatku dari sisi yang lain. Aku memang tak secantik Gang Wolly, ataupun wanita Inggris kebanyakan. Aku hanya wanita yang selalu berusaha ada untuk sahabatku. Bagiku, Jim adalah teman istimewa. Tak terkecuali setelah kejadian tadi siang.

03.45 AM..

Aku tengah mencoba mengatur nafasku sedemikian rupa setelah berlari-lari di koridor kampus dan berhenti ditaman belakang. Cukup melelahkan. Namun dinginnya cuaca diluar tetap membuatku tak berkeringat. Aku merapatkan mantel yang ku kenakan.


1 jam yang lalu, aku mendapatkan telpon dari Jim. Nada bicaranya terdengar serius dari ujung telpon. Dia memintaku untuk segera menemuinya, tapi aku tak bisa menuruti karena harus mengikuti latihan  untuk acara drama musikal yang akan diadakan bulan depan. Aku tak perlu menjelaskan tentang hal itu, karena Jim sudah tau. Dia bersedia untuk menunggu ditaman, tempat biasa kami melepas penat. Dan dalam 1 menit seusai latihan, aku telah sampai ditempat itu. Ku dapati Jim tengah asik duduk sembari mengamati benda kecil ditangannya. 

            “Hay Jim,” ucapku sesampainya mendekat kearah Jimmy, lalu duduk disampingnya. 

           “Hay Mercy,” sapanya ketika menyadari keberadaaanku, kemudian tersenyum. Senyumnya terlihat seperti biasa, dan tak ada sesuatu yang aneh.

       “Ada apa menelponku dan rela menunggu selama ini?, ada masalah?” Aku mulai membuka pembicaraan dan memasang wajah serius, menatap laki-laki yang tengah berada disampingku. Ia tak menoleh, sibuk dengan handphone yang ada ditangannya.

            “Tidak.” Jawabnya ringan. 

            “Lalu?” Tanyaku lagi. Ia hanya tersenyum tipis, menyingkap poni yang menurun.

 “Sedang apa kau? Serius sekali.” Aku mulai penasaran dengan sesuatu yang selalu Jim perhatikan dihandphonenya sejak kedatanganku beberapa menit yang lalu. 

            “Coba kau lihat dia!” Sembari menyodorkan handphonenya kearahku, Jim memperlihatkan sebuah foto yang tertera dihandphonenya. “Bagaimana menurutmu?”

            “Dia?” Aku terkejut mendapati foto yang ia tunjukkan. Sean Willsmith. Rasa penasaranku mulai meningkat tajam. “Pasangan barumu?” Aku menebak penuh curiga, dan mencoba untuk mengatur detak jantung yang mulai tak beraturan,  takut dengan jawaban yang akan Jim katakan.

            Jim mengangguk pelan dan penuh keyakinan. Sesuai dengan dugaanku. Akupun hanya bisa diam. Terjebak dengan pikiranku sendiri. Gadis itu memang cantik. Tapi apa aku harus mengakuinya?, apa aku harus menyakiti perasaanku dengan kata-kataku sendiri?, aku belum siap menyadari jika dia memang jauh lebih cantik dibanding aku, bahkan jauh lebih baik, mungkin.

            “Jadi kau menungguku hanya untuk ini?”

           Jim tersenyum, seakan tak ada yang salah dengan ini. Ya.. Dia memang tak tau jika ini tak seperti yang ku harapkan.

          Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya bersama rasa kesal yang tiba-tiba datang, namun mencoba untuk setenang mungkin. 

            “Aku yakin kau pasti bisa menilai apa yang terbaik untukmu, Jim.” Kata-kata itu spontan ku ucapkan padanya. Atas dasar apa, aku tak mengerti. Kemudian menyunggingkan senyum padanya. Senyum palsu yang selalu ku jadikan senjata andalan. Yang jelas ada perasaan cemburu, ada perasaan kecewa. Ku dapati ekspresi Jim berubah bingung. Akupun tak menghiraukan kode itu. Moodku tiba-tiba hilang. Ingin sekali rasanya lenyap. Menyadarkan diriku bahwa aku tak pantas, tak lebih pantas untuk seorang Jim. Dan akan selalu ada kata ‘tidak mungkin’ antara aku dan sahabatku.

            “Jawaban macam apa itu?, kau pasti tau, Mercy, bukan itu jawaban yang ingin ku dengar”. Jim mulai protes atas jawabanku, tetap dengan gayanya yang santai, mengibaskan poni, memandangku penuh harapan.
            “Apa?” Aku menantangnya menjelaskan jawaban yang ia harapkan dariku. Jimmy tak menyahut. “Bukankah itu jawaban paling diplomatis untuk pertanyaanmu?. Dan apapun jawaban yang kuberikan, ku rasa kau tetap pada keputusanmu, bukan?” Emosiku mulai terpancing.

            “Mungkin kau bisa menjawabnya dengan berkata ‘dia cantik Jim, dia seksi, dia cocok sekali denganmu’.” Jim menirukan gayaku bicara, kemudian melanjutkan. “Atau semacamnya.”

            “Apakah itu jawaban yang ingin kau dengar?” Aku tertawa kecil. “Seperti yang sudah-sudah, aku yakin ini tak akan bertahan lama.”

“Kali ini tidak,” jawabnya cepat. 

Dadaku terasa sesak. Seakan tertancap serpihan hatiku sendiri. Aku memalingkan wajah kearah Jimmy, menatapnya tajam. Ia tidak menyadari jika ia telah melukaiku. Tidak seharusnya ia mengatakan itu. Benarkah kali ini ia akan serius dengan Sean?. Aku cemas tapi berusaha mengabaikan pengakuannya. Kini sakit itu semakin terasa dalam.

“Sudahlah Jim, kita harus cepat pulang sebelum salju benar-benar turun.” Aku merapatkan mantel yang ku kenakan. ”Oh iya, kau tidak perlu mengantarku karena aku ada urusan setelah ini,” ucapku seraya berdiri, dan bergegas pergi meninggalkan Jimmy. Ia menghentikan langkahku seketika. Menarik pergelangan tanganku.

            “Pulang?” Jimmy terdengar geram, meski aku tak melihat ekspresi yang ia tunjukan. Dia seperti tak menerima keputusanku yang tiba-tiba. Ia kembali berkata. “Kau tau betapa membosankannya menunggu selama 1 jam?” Ia melepaskan genggamannya. 

Aku semakin yakin jika aku mulai terjebak oleh rasaku sendiri. Detak jantung yang semakin kencang. Aliran napas yang seakan berhenti, menegaskan jika aku benar-benar menyukainya. Sangat suka. Saat tangan itu menyentuh pergelanganku, menggenggam erat meski tanpa arti. Ya… itu semua tak ada artinya. 

            “Ya. Tapi untuk bertanya tentang wanitamu, kau tidak keberatan menunggu selama ini, bukan?. lagipula aku tidak memintamu untuk menungguku.”

            “Ayo lah Mercy, ada apa denganmu? Aku yakin kau tidak sedang sakit sekarang. Apa urusan yang kau sebut tadi adalah tentang masalahmu?, katakan saja, kau tau aku akan selalu membantumu.” Jimmy  menurunkan nada suaranya dan berusaha untuk lebih lembut padaku.

            “Aku baik-baik saja, Jim, dan tidak dalam masalah.”

            “Lantas?, apa kau sudah tidak peduli dengan sahabatmu yang satu ini?” Ia merengek.

 Meksipun terkadang Jimmy seperti anak manja yang haus perhatian seperti sekarang, tapi kali ini  ego ku lebih kuat dari yang ia bayangkan.

            “Berhenti berpikir seperti itu. Cepatlah atau aku akan meninggalkanmu.”

           “Kau akan meninggalkanku? Sendirian?, Ku rasa kau benar-benar dalam masalah. Sudahlah, jika tak mau cerita. Tinggalkan aku jika kau ingin pergi!” 

Jimmy menyerah untuk membujukku. Ia kembali duduk dikursi panjang itu. Dan tiba-tiba saja handphnonenya berdering. Menyelinap diantara emosi yang ada diantara kami. Ia tak menjawab telpon itu setelah sempat melihat sang penelpon dilayar.

            Sesuatu hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya dan hal yang selalu aku takutkan, aku tidak bisa mengontrol emosiku, tidak bisa menahan perasaan yang tak sepantasnya hadir. Dan benar saja. Jika dulu aku selalu mendukung dengan siapapun ia berkencan, dengan siapapun dia menjalin hubungan, tapi tidak untuk kali ini. Aku terlalu mencintainya, juga mencintai diriku sendiri. Lalu apa yang bisa ku lakukan?. Bukan karena wanita itu buruk untuknya, bukan pula karena ia lebih cantik dariku. Bukan. Tapi lebih karena perasaanku sendiri, setidaknya tidak akan seperti ini jika orang itu bukanlah Sean. 

            Aku menarik napas sedalam mungkin. Menetralkan emosiku. Sesaat kami hanyut dalam diam. Ia masih saja duduk dikursi itu, dan aku tetap pada posisiku. Berdiri memandangnya. Aku kemudian berpikir, tidak seharunya aku seegois ini. Bukankah dia sahabatku?. Hanya sahabat. Apa hak ku untuk marah padanya?. Bukan dia yang memintaku untuk menyukainya. Perasaan ini muncul begitu saja, buah dari rasa kagumku yang berlebihan. Harusnya aku tau diri. Harusnya cukup dengan menjadi sahabatnya, dan bersikap baik padanya. Ya.. Hanya itu yang harus ku lakukan. 

            Ini memang menyakitkan. Tapi bukankah orang-orang diluar sana selalu bilang, cinta tak harus memiliki dan cinta tumbuh atas kehendakmu. Mungkin ini akan terus menjadi ceritaku, bukan menjadi cerita dalam hidupnya.

            Aku mendekat kearah Jimmy. Duduk disampingnya. Ia tak menoleh. Masih menerawang jauh keseluruh penjuru taman. Dan seketika, salju pertama mulai turun. Meski aku tak berhasil menyeret pandangannya, aku tetap mencoba untuk mengajaknya bicara, tepatnya ingin meminta maaf padanya atas sikapku. Dan aku tau ini akan menjadi akhir dari rasa ini.

            “Maafkan aku Jimmy.” Aku ku padanya, lirih. “Dengar, bukankah aku selalu mengatakan padamu bahwa aku akan mendukung apapun yang menjadi keputusanmu?, apapun!” Aku diam beberapa saat, dan melanjutkan. “Aku hanya ingin kau berusaha untuk lebih serius dengan siapapun gadis yang menjalin hubungan denganmu.” Jimmy masih tak bereaksi. “Oke, aku memang tak bermaksud menggurui, tapi dengan begitu, kau juga akan merasa senang, bukan?. Selama ini kau selalu bertanya apa yang salah dengan dirimu?, kenapa kau tidak bisa berlama-lama dengan teman kencanmu?. Jawabannya mungkin karena kau belum mengetahui apa yang terbaik untuk dirimu sendiri. Dan sekarang, aku yakin kau sudah tau tentang itu, Jim. Dia cantik. Aku mengenalnya dengan baik karena dia temanku.” 

           Jimmy menunjukkan wajah terkejut, sama terkejutnya ketika aku melihat foto Sean di handphonenya. Dia tak tau jika aku berteman dengan Sean. Kini aku mencoba tersenyum selebar mungkin. Setelah membuat pernyataan yang menyesakkan. Kemudian menatap dalam kearah bola matanya yang redup. Ia balas menatapku. Memegang pipiku dengan kedua telapak tangannya. Aku berharap ia tak akan merasakan apapun, karena jujur, aku merasakan pipiku merona sejadi-jadinya. Kenapa dia selalu bersikap seperti ini?. Tentu saja karena aku sahabatnya, kan?. Ini hal wajar. Tapi aku selalu salah mengartikan sikapnya. Aku menunduk. Bingung reaksi apa yang kiranya tepat untuk ku tunjukkan. 

            “Kau tidak sedang marah padaku, kan?”

Ia mendekatkan wajahnya. Memasang wajah dengan seuntai senyum yang paling ku suka. Pertanyaan yang tiba-tiba muncul setelah lama ia terdiam. Aku menggeleng. Mengurai senyum yang ku paksakan. Ia melepaskan kedua tangannya. 

Seandainya bisa sedikit lebih lama, biarkan tangan itu menyentuh pipiku. Merasakan betapa lembutnya desiran darah yang hangat, bercampur dengan dinginnya salju yang turun. Dan setelah itu, akan ku relakan dengan siapapun dia. Hanya hingga detik ini, aku ingin bersamanya lebih lama. Bukan sebagai sahabat, tapi sebagai teman wanitanya. Seandainya itu mungkin, seandainya ia tau. 

            “Kau tau, aku akan selalu menganggapmu sebagai  wanita paling brilliant yang pernah ku temui. Jadi bagaimanapun, kau akan selalu menjadi yang istimewa.”

            Kalian dengar, itulah kata-kata yang ia ucapkan. Kata-kata yang berhail meruntuhkan semangatku. Menyadarkan ku untukku kesekian kalinya jika ini ceritaku, bukan ceritanya. Tapi setidaknya ini akan menjadi awal yang baik. Terlebih untuk diriku sendiri. Mungkin. Dan.. entahlah. Lagi-lagi iya tersenyum. Senyum yang tak boleh lagi ku kagumi dari sekarang. 
            
         “Baiklah Mercy, bukankah kau bilang kau ada urusan?. Pergilah, aku tidak akan menghalangimu.” Ia memasukkan handphone kedalam tas. “Aku juga minta maaf jika selalu membuatmu kesal. Percayalah Mercy, kau teman terbaikku.” Ia menganggkat lengannya dan mendaratkan keatas kepalaku. Ia mengelus rambutku, lembut.
 
            Ya.. teman terbaik! Aku tersenyum padanya.

        “Kau tau, kau laki-laki menyebalkan yang pernah ku temui.” Ucapku mengejeknya. Kami saling bertatapan dalam diam, lalu tertawa bersama.

Dan sejak saat itu ku pikir aku akan benar-benar melupakannya. 1 detik setelah itu dan sampai beberapa jam sekarang ini. Ternyata tidak.-